Kisah Ang dan Nasionalisme Lainnya



                   Judul Buku : Tanah Air
Penulis        : Martin Aleida, dkk.
Penerbit      : Kompas, Jakarta
Cetakan      : 2017
Tebal          : xxii + 186 halaman
ISBN          : 978-602-412-254-6

Buku kumpulan cerpen Tanah Air karya Martin Aleida, dkk. ini merupakan kumpulan cerpen pilihan Kompas 2016. Para cerpenis merekam kondisi masyarakat sekitar atau menarasikan gejolak negeri ini sebagai kritik sosial. Bahkan, seperti yang tertera dalam kata pengantar, pengarang tak hanya menggali arsip-arsip ingatan dan membeberkannya untuk kemudian dibacakan kepada publik. Tetapi ia selalu berusaha memberinya kajian-kajian “keilmuan” yang spesifik, sehingga arsip-arsip ingatan itu hidup kembali menjadi realitas “fiksional” di sekitar kita (hal. vii).
Cerita-cerita dalam kumpulan cerpen ini memiliki relasi kuat dengan peristiwa-peristiwa puluhan tahun yang lalu, atau peristiwa aktual yang saat ini menjadi kajian di warung-warung kopi, seminar-seminar, atau tempat-tempat diskusi lainnya. Peristiwa-peristiwa itu terasa dekat dengan kita, dengan masyarakat, atau dengan lingkungan sekitar. Dengan kata lain, kumpulan cerpen ini bukan sekadar menghibur pembaca, tetapi juga mendidik untuk mencintai negeri ini.
Dalam catatan dewan juri, kumpulan cerpen ini memiliki empat tema utama. Pertama tentang kekejaman rezim dalam pergolakan politik. Tema ini diwakili cerpen “Tanah Air” (Martin Aleida), “Sejarah” (Putu Wijaya), “Tukang Cukur” (Budi Darma), “Mengapa Mereka Berdoa Kepada Pohon?” (Faisal Oddang), dan “Wayang Potehi: Cinta yang Pupus” (Han Gagas).
Cerpen-cerpen ini menyoroti kekejaman penguasa sekaligus mengeksplorasi kecintaan rakyat kecil terhadap bangsa ini. Cara Ang mencintai bangsa ini dalam judul “Tanah Air” dibuktikan dengan segenggam tanah merah yang dibawa Ang sepanjang hidupnya sebagai eksil. Bahkan, jari-jemari Ang masih mengepal tanah merah yang sudah berbalut kain putih (hal. 9). Sebagai cerita fiktif, mungkin saja orang mencibir nasionalisme ala Ang yang sangat hiperbolis. Padahal, Ang merupakan simbol rakyat kecil yang sangat mempertahankan negeri ini agar jangan sampai jatuh ke negeri asing.
Kedua, relasi sosial yang tak setara. Tema ini diwakili cerpen “Istana Tembok Bolong, Bong Suwung, Yogyakarta, 1970” (Seno Gumira Ajidarma), “Jaket Kenangan” (Gerson Poyk), “Anjing Bahagia yang Mati Bunuh Diri” (Agus Noor), “Nalea” (Sungging Raga), dan “Penglihatan” (Mashdar Zainal). Sedangkan cerpen “Gulai Kam-bhing dan Ibu Rapilus” (Ahmad Tohari), “Senjata” (Sori Siregar), “Celurit” (Muna Masyari), “Nelayan yang Malas Melepas Jala” (Damhuri Muhammad), dan “Sepasang Merpati dalam Sebuah Cerita” (Supartika) dijadikan tema ketiga.  Menurut dewan juri, cerpen-cerpen tersebut memiliki cara unik dan spesifik dalam menyelesaikan konflik, walaupun masih berada dalam tataran tema relasi sosial masyarakat.
Relasi sosial dalam cerpen-cerpen ini mununjukkan adanya ketimpangan sosial di kalangan masyarakat. Kondisi ini merupakan problem bangsa yang senantiasa menjadi perbincangan publik. Kondisi tersebut bisa ditekan seminimal mungkin walaupun pada sisi lain akan menggerakkan roda perekonomian bangsa. Setidaknya, cerpen-cerpen ini telah berwujud sebagai data yang perlu didokumentasikan dengan rapi.
Keempat, tradisi dengan varian spiritualitas dan pengekangan. Tema ini diwakili cerpen “Roh Meratus” (Zaidinoor), “Terumbu Tulang Isteri” (Made Adnyana Ole), “Belis Si Mas Kawin” (Fanny J Poyk), “Perempuan Pencemburu” (Gde Aryantha Soethama), dan “Setelah 16.200 Hari” (Triyanto Triwikromo). Tema seperti ini rata-rata dialami oleh penulis cerpen lantaran tema tersebut relatif gampang. Hanya saja, penulis dituntut piawai merangkai kalimat sehingga menjadi satu-kesatuan yang renyah dan enak dibaca.
“Celurit Warisan” misalnya, merupakan cerpen yang lahir dari tangan penulis Muna Masyari yang notabene kelahiran pulau Madura. Sebagaimana dimaklumi, Madura dan celurit merupakan dua hal yang berkelit-kelindan dalam memori kebanyakan orang. Mungkin tidak sedikit penulis Madura yang mengabadikan “sepak terjang” celurit Madura ke dalam naskah fiksi, namun mereka gagal menyelipkan nilai-nilai budaya yang diramu dengan rangkaian kalimat yang apik. Dan dalam buku ini, karya Muna Masyari mampu memikat hati dewan juri kumpulan cerpen ini.
Muna membuka dialog cerpen tersebut dengan sangat lembut :”Celurit ini tidak akan melukai orang yang tidak bersalah” (hal. 55). Jika disandingkan dengan orang Madura, bagi sebagian orang, celurit merupakan sesuatu yang  selalu membawa petaka. Tetapi Muna mampu memberikan informasi bijak bahwa ada batasan-batasan tertentu celurit itu bertindak ganas, di tangan pemiliknya.
Nah, kumpulan cerpen Tanah Air ini bukan sekadar cerita fiksi yang mampu menghibur pembaca, tetapi menyajikan kearifan-kearifan berharga untuk mempertahankan keutuhan negeri ini. Bahkan, kumpulan cerpen ini juga menyimpan data penting yang sangat berharga. Maka, membaca buku ini serupa mengikuti kegiatan rekreatif sambil menikmati kondisi bangsa dari masa ke masa, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain.


*Suhairi adalah Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN)  Madura*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi