Berdamai dengan Penyakit Lupus


                   Judul Buku : Asa untuk sang Kupu-Kupu: Di Balik 
                                         Seribu Wajah Lupus
Penulis        : Dr. Laniyati Hamijoyo 
                      dan Sandra V. Navarra, M.D.
Penerbit      : Qanita, Bandung
Cetakan      : I, Februari 2017
Tebal          : 152 halaman
ISBN          : 978-602-402-060-6

Setiap orang mendambakan hidup sehat. Namun, tidak semua orang mampu meraih apa yang didambakan. Hidup sehat merupakan sesuatu yang sangat mahal harganya. Hidup sehat akan berdampak pada produktivitas kerja. Sebaliknya, kondisi tubuh yang lemah akan berdampak negatif pada aktivitas sehari-hari.
Bagaimana jika seseorang terpaksa diserang penyakit? Haruskah ia menyerah pada keadaan? Ataukan harus berusaha tanpa mengenal putus asa? Menyerah merupakan suatu sikap yang takluk pada keadaan. Seseorang yang menyerah pada sebuah kondisi adalah suatu ciri orang yang merelakan kebahagiaannya terlepas. Sebuah wejangan Fernando Passoa, jangan pernah menyerah untuk menjadi bahagia karena kehidupan ini adalah pertunjukan yang menakjubkan.
Kalimat motivasi itu sangat tepat untuk dijadikan pedoman bagi penderita penyakit lupus. Lupus adalah penyakit autoimun. Penyebab penyakit autoimun itu sendiri masih belum diketahui secara pasti. Lupus muncul sebagai kombinasi dari berbagai faktor penyebab seperti faktor genetik, hormon, faktor lingkungan, infeksi, stres yang berlebihan, paparan sinar matahari, atau obat-obatan tertentu. Setiap orang bisa terkena lupus. Tetapi besar kemungkinan terjadi pada wanita 10 sampai 15 kali lebih tinggi dibanding pria (hal. 45).
 Penyakit lupus juga disebut penyakit seribu wajah. Orang-orang yang terserang penyakit ini memiliki banyak tanda, setiap orang tidak sama; ada yang wajahnya bintik-bintik merah, atau rambutnya hanya tumbuh sedikit, atau demam panjang, hilang timbul dan terasa capek, dan lain sebagainya. Apakah penyakit ini masih bisa disembuhkan?
Setiap penderita penyakit ini berharap penyakitnya masih bisa disembuhkan. Obat-obatan pada lupus bergantung pada gejala-gejala yang muncul dan organ mana yang terkena. Oleh karena itu, setiap pasien mendapatkan obatnya masing-masing. Dosis dan bagaimana pemberian obat itu juga berbeda pada setiap pasien, bergantung aktivitas penyakitnya (hal. 54).
Berjiwa besar dalam menghadapi penyakit ini tentu merupakan sebuah bekal yang luar biasa. Dijelaskan dalam buku ini bahwa berfikir positif adalah seni melihat segala sesuatu dari sudut pandang positif. Dampak pola pikir positif ini diilustrasikan dalam film Forrest Gump yang dibintangi pemenang Oscar, Tom Hanks.
Film itu bercerita tentang seorang pria dengan kecerdasan di bawah rata-rata. Tak seorang pun memercayainya kecuali ibunya sendiri. Ibu Forrest selalu memotivasi untuk membesarkan hati anaknya. Ibu Forrest berkata,”Keajaiban terjadi setiap hari, dan Kau harus melakukan yang terbaik dengan apa yang sudah Tuhan berikan untukmu (hal. 118).
Film Forrest Gump mungkin sekadar fiksi atau memang diangkat dari kisah nyata. Tetapi, kata-kata positif sang ibu memiliki kekuatan yang bisa membangkitkan semangat sang anak. Berkat motivasi yang disampaikan sang ibu, Forrest menjadi seseorang yang gembira, puas, dan hidup damai dengan keadaannya maupun dengan dunia sekitarnya.
Film ini menyimpan amanat yang sangat mendalam. Seorang penderita lupus seyogyanya tetap memiliki harapan hidup yang lebih baik di masa yang akan datang. Selain berusaha untuk menyembuhkannya, pola pikir positif akan menimbulkan hal yang positif pula. Sebagai manusia, kita perlu berusaha mengatasi setiap penyakit yang menyerang, termasuk penyakit lupus. Selebihnya, kita serahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut buku ini, diagnosis lupus memang kadang sulit ditegakkan. Sering sekali, penyandang lupus malah mendapatkan diagnosis penyakit lain. Inilah sebabnya lupus sering disebut penipu ulung atau The Great Imatator. Gejala-gejala lupus bisa berbeda-beda antara orang yang satu dengan orang lain. Dengan ringan dan menarik, dua ahli lupus berpengalaman internasional memaparkan penyakit lupus dan cara menyikapinya dengan baik.
Setidaknya, buku ini hadir untuk memunculkan pola pikir positif pada penderita lupus. Apalagi, penyaklit ini masih bisa diobati. Bahkan Dian Syarief,  salah seorang penyandang lupus dalam buku ini memberikan testimoni bahwa lupus tak lagi hanya sekadar penyakit, tetapi bisa menjadi kebaikan bagi yang mengalami, mendampingi, dan mengobati. Buku ini sangat layak dibaca untuk mengatasi penyakit dan pola pikir negatif bagi penderita penyakit lupus. Kini saatnya berdamai dengan penyakit lupus.

 *Tulisan ini dimuat di Kabar Madura 19 September 2017

**Suhairi adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan Madura.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi