Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah
Judul Buku : Bilangan Fu
Ayu Utami merupakan
salah satu novelis yang kritis dan berani melawan arus. Ia mengkritisi manusia
modern yang memperlakukan alam secara semena-mena. Ia juga mengkritisi kepercayaan
masyarakat yang menuhankan berbagai makhluk hidup. Bahkan, ia juga mengkritisi
lembaga militer yang dianggap menebar teror, pada masa orde baru. Kritik-kritik
tersebut dituangkan Ayu Utami melalui novelnya Bilangan Fu.
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan
Populer Gramedia
Edisi Kedua : Oktober, 2018
Tebal :
x + 562 halaman
ISBN :
978-602-424-397-5
Harga :
Rp 120.000,-
Melalui novel ini,
Ayu Utami menampilkan dua belas tokoh
pemanjat tebing. Tokoh-tokoh ini sebagai representatif manusia pecinta alam.
Jika dikaitkelindankan dengan kebutuhan manusia modern, apa untungnya
mengasingkan diri dari hiruk-pikuk suasana kota, meninggalkan segala informasi
dan hiburan dari kotak ajaib bernama televisi, atau meninggalkan kesenangan
duniawi di zaman mutakhir ini?
Novel
ini hadir serupa ‘jeweran’ halus Ayu Utami terhadap manusia modern. Sejatinya, kehidupan manusia tidak bisa terlepas dengan
alam. Jika manusia tidak ramah kepada alam, alam tidak akan memberikan
konstribusi positif kepada manusia. Dalam konteks kekinian, kekhawatiran Ayu
Utami pada bagian awal novel ini menjadi kenyataan. Terjadinya bencana ekologis seperti gunung
meletus, bencana tsunami, banjir, dan longsor merupakan tanda ketidakramahan
manusia terhadap alam.
Bilangan
Fu ini bukan sekadar cerita
fiksi, tetapi berupa mimesis yang merupakan duplikasi dunia nyata yang terjadi
dalam kehidupan sosial masyarakat. Ayu
Utami berkeyakinan bahwa ada hubugan erat antara manusia dengan alam. Keterjalinan
simbiosis mutualisme manusia dengan alam ini sejalan dengan pendapat Prof.
Oekan S. Abdoellah, Ph.D. (2017; 1) bahwa lemahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan sekitar di
antaranya karena kurangnya pengetahuan betapa pentingnya merawat hubungan
antara manusia dengan alam. Secara filosofis, ekologi manusia bertumpu pada
pandangan ontologis yang menyatakan bahwa manusia dan lingkungan bukanlah dua
entitas yang bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Selain
itu, Ayu Utami juga mengkritisi pola
pikir masyarakat yang menganut kepercayaan terhadap banyak tuhan. Mereka
memiliki kepercayaan terhadap tahayul, pohon besar, dan tempat-tempat keramat
lainnya. Di satu sisi, hal ini sangat menguntungkan. Masyarakat tidak
semena-mena mengeksploitasi alam karena dianggap ada makhluk penunggu. Tetapi di
sisi lain, masyarakat harus berhati-hati agar tidak menuhankan benda-benda
tersebut. Melalui tokoh Parang
Jati, Ayu Utami menjelaskan tentang kepercayaan
masyarakat terhadap makhluk halus. Ditegaskan, dalam sebuah tradisi, kepercayaan
tentang siluman dan roh-roh penguasa alam itu ternyata berfungsi untuk membuat
masyarakat menjaga hutan dan air (hal. 318).
Persoalan
spiritualitas yang memercayai antara adanya Tuhan dan siluman atau roh-roh
perlu dibedakan. Terkait dengan spiritualitas ini, J.B.
Banawiratman, dkk. (2017; 168) menyatakan bahwa spiritualitas dapat dimengerti
sebagai pengalaman-pengalaman iman yang dihayati, atau lebih tepat lagi
dihidupi, dalam aneka jaringan keterlibatan harian. Defenisi ini menunjuk
kepada wilayah praksis eksperiensial, artinya dimensi tindakan aktif yang bersemayam
di medan pengalaman. Di dalamnya ada gerak bolak-balik antara proses pembatinan
(impresi) dan proses pengungkapan (ekspresi).
Pada judul Spiritualisme Kritis, Ayu Utami mengkritisi adanya sejumlah agama yang
hanya diakui di Indonesia, seperti Hindu, Buddha, Islam, Kristen Katolik, dan
Kristen Protestan, serta adanya agama Konghucu yang mulai diperhatikan sejak kepemimpinan
K.H. Abdur Rahman Wahid. Adanya pembatasan agama-agama ini memicu munculnya kepercayaan
seperti menyembah pohon, tebing, gunung, samudera, alam raya, semesta, dengan
cara baru. Dalam hal ini, Ayu Utami memunculkan sosok Parang Jati yang ingin
merevitalisasi animisme, dinamisme, panteisme, kosmosentrisme, dan lain-lain
cara percaya yang telah dianggap purba, agama-agama yang dekat dengan alam, dengan
cara baru (hal. 397-398).
Membaca novel Bilangan
Fu ini perlu mengernyitkan kening.
Bahasanya sangat padat dan sulit dimengerti hanya dengan sekali baca. Apalagi,
banyak istilah pewayangan yang digunakan penulis. Data hasil riset lebih
dominan daripada unsur hiburan sebagai fungsi sastra. Membaca novel ini seakan menyantap
semangkuk bakso dengan sedikit kuah; kurang enak untuk dinikmati. Walaupun
demikian, membaca novel ini seakan-akan menjelajah negeri ini dengan segala
dinamikanya.
*Suhairi adalah Dosen Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Madura
Alhamdulillah. Bagus banget nih untuk dibaca generasi millineal.
BalasHapusLanjutkan,..
BalasHapusToop tulisannya Pak Suhairi,....
BalasHapusKeren.. Bakso Sedikit Kuah yang membuat pembaca ingin menambah Segelas Es teh tampa air.. Harus bersabar nunggu cair untuk diminum.. Keren keren..
BalasHapusSastra sebagai hiburan? Ini yang sangat disayangkan kalau dianggap hanya sebagai hiburan. Bagaimana kalau novel pramudya ananta toer yang "nyayian sunyi" yang bahkan hampir keseluruhan berisi surat-suratnya.
BalasHapusTerima kasih atas komentarnya. Saya hanya mengacu pada konsep Horace, bahwa sastra adalah dulce et utile, sastra itu mendidik dan menghibur. Terima kasih, masukan yang luar biasa.
HapusSastra sebagai pengobat hati dan pikiran yg kacau
Hapussippppp mantul oyyyyyyyyyyyy
BalasHapusEhem.
HapusBilangan Fu adalah otokritik atas kelalaian kita terhadap alam. Resensi yang baik... 👍
BalasHapusberkelas serta menambah wawasan bagi penulis resensi an pembacanya
BalasHapusTulisan yg lugas dan gamblang sehingga pembaca bs memahami apa yg tergambar dlm isi buku itu tanpa membaca buku aslinya. Top pak dn ditunggu karya selanjutnya.
BalasHapussangat bagus ayo terus berkarya
BalasHapusTulisan ini menggambarkan kualitas penulisnya, keren
BalasHapusUntuk menambah keimanan terhadap adanya hal hal ghaib seperti mahluk halus, penunggu hutan, penjaga pohon besar, maka novel ini layak untuk menjadi referensi.
BalasHapusMantabb novel ini...
Bagus sekali. cukup mewakili isi bukunya
BalasHapusRenyah... Enak bacanya, seperti makan kentang goreng dengan saos.
BalasHapusNyam nyam nyam...
Tulisannya sangat menginspirasi. Lanjutkan perjuangan gais....
BalasHapusSangat menarik untuk dikonsumsi Otak.
BalasHapusMantab ulasannya, Pak. Meski belum memiliki bukunya, Alhamdulillah sudah tercerahkan dari resensi ini. Trims.
BalasHapusKeren, saya hanya memberikan usulan: Pada paragraf kedua tertulis "Jika dikaitkelindankan" mungkin yang dimaksud penulis adalah "jika dikaitkan", kemudian pada pragraf ke tujuh tertulis KH. Abdur Rahman Wahid, insyalllah penulisan yang benar, KH. Abdurrahman (digandeng). Terima kasih.
BalasHapusTerima kasih. Masukan yang sangat berharga.
HapusMantap, d tunggu resensi-resensi berikutnya.
BalasHapusKreativitasmu emang keren keeh..semangkuk bakso yg sedikit lebih enak tambah telor ... duuuh ngrooodhuk di udaraa..
BalasHapusKeren resensinya Pak... Membawa kita berkelana
BalasHapusKeren pak suhai, tetap berkarya dan jaya
BalasHapusPak...
BalasHapusKapan-kapan buku saya diresensi juga ya? Walau bukunya belum ada saat ini.
Keren pak resensinya... Hanya saja da beberapa hal yg perlu dikoreksi kembali terutama dalam penulisan kata seperti kata "dikaitkalindankan" dalam paragraf mungkin maksdnya adalah dikaitkan dengan ato mungkin yg lainnya.
BalasHapusSelanjutnya dari sisi judul sepertinya juga harus dikritisi karena asumsi sy antara isi yg sudah digambarkan sklumit di atas tidak mewakili judul buku tsb.
👍
BalasHapusAlhamdulillah. Terimakasih banyak bapak Suhairi Rahmat. Tulisan dan resensinya sangat bagus dan bahasanya sangat renyah... Top, lanjutkan pak resensi2 dan karya berikutnya..
BalasHapusSiap. Terima kasih telah mampir.
Hapus