Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi


                   Judul Buku : Anyelir untuk Alyssa
Penulis        : Nabilla Anasty Fahzaria
Penerbit      : Pastel Books, Bandung
Cetakan      : I, Mei 2017
Tebal          : 212 halaman
ISBN          : 978-602-61273-8-9

Ia dan hidupnya
Kepulan depresi yang menggila
Ia dan sesak hatinya
Dipendam saja

Sayatan waktu
Cakaran pilu
Hantarkan gadis itu
Hamburkan sejuta rindu

Begitulah Nabilla Anasty Fahzaria mengawali kisahnya dalam novel Anyelir untuk Alyssa. Dua bait puisi tersebut menggambarkan perjalanan hidup seorang tokoh yang dipenuhi problematika hidup. Nabilla menampilkan sosok Alyssa sebagai seorang remaja yang harus menerima kenyataan pahit bahwa ibunya pergi tepat ketika dia lulus SMA. Ia hidup sebatangkara. Kesedihannya bagai bara yang meletup-letup dan tak pernah padam.
Tuhan selalu menakar intensitas problematika hidup yang akan ditimpakan kepada seseorang. Tetapi, konflik yang dialami Alyssa dalam novel ini terasa sangat berat. Problematika hidup tersebut tersurat dalam diksi yang digunakan penulis seperti “kepulan”, “depresi”, “sesak hatinya”, “sayatan waktu”, dan “cakaran pilu”. Diksi-diksi tersebut digunakan sesuai kondisi batin yang dialami sosok Alyssa.
Di sekolah, Alyssa memiliki teman dekat, yaitu Eliza, Sophia, Sandra, dan Mario. Walaupun demikian, Alyssa menyadari bahwa tak ada persahabatan utuh antara laki-laki dan perempuan, begitu hukum alamnya. Sudah tiga tahun Alyssa memendam rindu kepada Mario, namun, ia harus pandai-pandai menyimpannya dengan rapi. Allysa takut mengakui untuk menghindari kecanggungan (hal. 10-11).
 Sebagai seorang remaja yang memiliki rasa cinta secara terpendam, Alyssa mengalami tekanan batin. Di sinilah potensi konflik antara Alyssa dengan dirinya, juga konflik dirinya dengan orang lain. Bagi Alyssa, ini merupakan tekanan batin yang bisa mengganggu pola pikirnya di sekolah.
Selain itu, problematika hidup Allysa terasa sangat berat karena selalu ditinggal ibunya. Setiap setahun sang ibu pergi dengan alasan mengurus hal penting. Dia meninggalkan Alyssa di Charlotte seorang diri, untuk beberapa hari. Penderitaan Alyssa nyaris sempurna karena ia juga tidak memiliki seorang ayah. Alyssa tidak mengetahui ayahnya sama sekali. Maka, suatu ketika, ia penasaran terhadap pria berjas di foto yang menggantung di kamarnya. Bi Emma ternyata mengetahui bahwa ayah Alyssa masih hidup dan mengetahui kondisi Alyssa (hal. 63).
Alyssa baru bertemu langsung dengan sang ayah ketika baru saja pulang dari rumah Bi Emma. Setelah membuka pintu, ia tersentak dan langsung mundur selangkah saat melihat pria tengah berdiri sambil menghayati potret sang ibu. Pria dengan rambut memutih dan bertubuh tegap itu adalah ayah Alyssa. Sang ayah dihujani tanda tanya karena tidak pernah menghubungi Allysa, juga tidak pernah menghubungi sang ibu. Dan ternyata, sang adalah seorang prajurit  yang bertugas mengamankan negara. Dalam waktu dekat, sang ayah akan kembali ke tempat tugas (hal. 95).
Penderitaan Alyssa menjadi sempurna saat sang ibu dirawat di rumah sakit. Dokter Andrian yang menanganinya tak mampu menyelamatkan nyawanya. Dia harus menerima kenyataan pahit bahwa ibunya pergi tepat ketika ia lulus SMA. Hingga akhirnya, wasiat sang ibu pun meluncur seanggun putri  raja. Kawan karib ibu Alyssa datang untuk mengabarkan bahwa ada satu rumah milik ibunya di sebuah wilayah  pegunungan yang tertutup salju saat musim dingin. Alyssa diminta tinggal di sana. Pembawa pesan itu menuntu Alyssa ke little Switzerland, sebuah tempat indah dengan anyelir merah muda  tumbuh sebebas merpati.
Namun keindahan wilayah kecil itu tak mampu menghibur hati Alyssa. Ia merasa sedih yang bertubi-tubi melalui kenangan pahit dan kedatangan sang dokter yang Alyssa yakini sebagai penyebab kepergian ibunya. Satu-satunya yang menghibur Alyssa adalah toko bunga yang cantik dan Finn, seseorang yang istimewa dengan Sindrom Down.
Membaca novel ini terasa diajak menjelajah berbagai problematika hidup. Jika ingin mengambil hikmah dari novel ini, pembaca bisa memposisikan diri sebagai sosok Alyssa, seorang remaja yang menghadapi persoalan yang bertubi-tubi. Pembaca bisa menggunakan teknik dan cara sendiri dalam memecahkan masalah. Dengan demikian, membaca novel setebal 212 halaman ini laksana belajar memecahkan masalah dengan cara yang bijaksana.
*Tulisan ini dimuat di Harian Pagi Radar Madura (Group Jawa Pos), Minggu, 03 Desember 2017 
**Suhairi adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan Madura

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i