Safety


Selembar sinar pagi melepas kepergian Safety. Sebentar kemudian rumah megah itu pun sepi. Hanya ada seorang pembantu terlihat sibuk membersihkan pekarangan rumah, menjemur cucian, atau pun menyirami bunga-bunga.
Setiap jengkal tanah yang menyimpan jejak kaki Safety, selalu meninggalkan kenangan. Baik kenangan pahit maupun kenangan manis.  Kenangan pahit mengukir setiap orang  yang menginginkan Safety jadi pendamping hidupnya, tetapi keinginan itu tak jua tercapai. Kenangan manis akan terwujud ketika seseorang memperoleh cinta seorang perempuan cantik yang biasa disebut bunga desa. Siapa lagi kalau bukan Safety.
O, Mas Pujangga to! Okelah,Insyaallah Fe akan dtang jam 9.
Sebuah sms masuk ke ponselku. Safety mengenalku melalui karya-karyaku yang dimuat di koran harianku. Kebetulan aku jadi pengasuh rubrik budaya. Ketika tidak ada naskah masuk yang laik muat, seringkali aku memuat tulisanku sendiri. Baik berupa karya fiksi maupun non fiksi.
Sejak awal pertemuanku dengan Safety, ia memanggilku ‘Mas Pujangga’. Walaupun cukup risih dengan panggilan itu, aku tak menampakkan perasaan seperti itu. Aku ingin bersikap wajar supaya terjalin hubungan harmonis.
Keharmonisan itu semakin terjalin dengan baik setelah peristiwa memalukan menimpa batinku. Suatu ketika aku mementaskan pembacaan puisi dengan beberapa teman di gedung kesenian. Salah satu aktingku untuk menarik perhatian penonton, aku sengaja memulai pementasan itu dari arah penonton. Sebelum memulai pembacaan tersebut aku membanting sebuah kursi yang terdapat di dekat Safety. Penonton kaget melihat aktingku. Aku lebih kaget lagi ketika sebuah ponsel yang di taruh di kursi tersebut jatuh membentur lantai.
“Penampilannya hebat, Mas. Sampai banting-banting kursi dan Hpku,”ujar Safety dengan nada sinis. Aku tak mampu menjawabnya. Aku tak punya alasan.
“Setiap tampil membacakan puisi memang harus banting-banting seperti itu?” lanjut Safety. Aku masih membungkam mulutku rapat-rapat. Selama ini, aku tak pernah dipermalukan seorang perempuan di depan umum. Kecuali malam itu.
“Aku mohon maaf atas kejadian tadi,” kataku, merendah.”Aku akan mengganti HPmu jika terdapat kerusakan,” lanjutku.
“Ah, Mas Pujangga kok serius, sih. Padahal aku hanya bercanda. Lagi pula, aku bersyukur jika ternyata Hpku rusak. Berarti aku harus ganti HP baru.”
“Tidak masalah. Aku siap menggantinya dengan HP baru.”
“Hm…maksudku bukan Mas Pujangga yang menggantinya. Tapi aku, Mas.  Aku akan menggantinya dengan HP baru jika HP itu rusak.”
Sebuah malam menyimpan sejarah duka dalam hidupku. Peristiwa itu tak mampu memejamkan mata walaupun hanya sekejab. Aku menyadari dan mengakui bahwa aku bersalah.
Belum sempat memejamkan mata, pagi dan sinar mentari telah menjemput waktu. Aku yakin, selembar sinar pagi melepas kepergian Safety. Sebentar kemudian rumah megah itu pun sepi. Hanya ada seorang pembantu terlihat sibuk membersihkan pekarangan rumah, menjemur cucian, atau pun menyirami bunga-bunga.
“Hallo,” sapaku ketika kuhubungi lewat ponselnya.
“Oh, Mas Pujangga. Ada apa, Mas?”
“Aku hanya ingin ngecek HPmu. Berarti masih hidup, Kan?”
“Oh, bisa, Mas. Bisa. Tenang saja!”
Aku yakin ia tersenyum di seberang sana. Sebuah senyum yang sering meruntuhkan benteng keimananku.
********
Suatu  pagi, awan menyelimuti wajah langit. Tak ada sinar matahari yang mampu menerobosnya. Burung-burung pun enggan berkicau. Udara terlihat letih. Tak mau bergerak. Embun tak bersarang di tubuh dedaunan. Suasana itu mengantarkan perputaran jarum jam menuju sore hari.
Suasana cerah menempel di langit hatiku ketika Safety memintaku meneminya di sore itu.
“Aku ada masalah dengan Manager di kantor.”
“Aku tak keberatan membantumu jika itu dibutuhkan.”
“Ini masalah pribadi dan sangat rahasia. Jika hal ini terbongkar dan didengar karyawan lain, aku bisa dipecat.”
“Tak usah khawatir. Aku tak akan membocorkan rahasia itu.”
“Apakah kata-kata Mas Pujangga bisa dipercaya?”
“Beruntunglah jika kamu mau mempercayai kata-kataku.”
Safety menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya. Hartono, manager perusahaan tempat Safety bekerja hendak berbuat serong terhadap Safety. Padahal, Hartono sudah punya istri dan dua orang anak. Hortono sempat mengancam akan memecat Safety jika kehendaknya tidak terpenuhi.
“Betulkah perempuan hanya ditakdirkan jadi pemuas nafsu seorang lelaki? Betulkah keberadaan perempuan selalu berada di pihak yang tertindas? Betulkah perempuan harus mengalami nasib yang tidak mengenakkan?” Safety sesengukan.
“Tenang, tenang, tenang….Saf. Kamu harus tenang biar bisa berpikir secara fresh. Mari kita pecahkan masalah ini dengan tenang.”
“Alaahh…aku yakin jawaban Mas Pujangga membela kaum lelaki. Padahal….?”
“Maaf, Safety. Aku tidak bermaksud membela siapa-siapa. Yang salah harus disalahkan. Siapa yang benar, aku sangat mendukungnya.”
Aku menjelaskan kepada Safety bahwa tak semua lelaki suka mempermainkan perempuan. “Sebagaimana aku dan sebagaimana teman-temanku yang punya nurani yang sama,” kataku, membela diri. Tapi, siapa saja berpeluang untuk memiliki wanita idaman lain. Baik bapak bupati, pak camat, pak lurah, maupun para pengusaha yang memiliki peluang dan niat untuk melakukan hal seperti itu.
Safety diam. Ia menghentikan air matanya yang mengairi ladang pipinya yang putih dan cantik. Dari jarak yang begitu dekat, aku memandang wajahnya, laksana suasana pagi yang melukis suasana indah. Kedua bola matanya yang basah seakan menyimpan embun suci. Kelopak matanya seperti dedaunan yang menyimpan sebuah kejujuran. Kejujuran tentang kecantikan wajahnya. Sungguh luar biasa Tuhan menciptakan seorang Safety.
Setelah pagi kembali menyapa waktu, rasa khawatir selalu membuntuti perasaanku. Aku selalu berdoa kepada Tuhan agar Safety dilindungi dari keinginan Hartono yang berniat serong. Mudah-mudahan Safety akan menjadi perempuan yang suci. Tak ada yang mengganggu. Tak ada yang berani melepas keperawanannya. Kecuali suaminya yang syah.
Hubunganku dengan Safety semakin akrab. Sudah beberapa kali ia mengajakku makan bersama di sebuah restoran. Percakapan-percakapan nakal kadang muncul dari kedua bibirnya yang basah dan merekah. Semakin akrab. Semakin dekat. Bahkan, Safety berani melepas pekerjaannya agar bisa keluar dari beban yang menimpanya selama ini.
“Jika kamu mau, kantorku membutuhkan seorang sekretaris.”
“Sekretaris? Aku menyukai pekerjaan itu.”
“Siapkan lamaran pekerjaan.”
“Persyaratannya apa saja?”
“Menurutku, kamu memenuhi persyaratan yang diminta pimpinan.”
“Kongkritnya?”
“Ambil saja besok siang di kantor.”
Rupa-rupanya Safety menyukai pekerjaan sebagai sekretaris sebuah koran harian. Sebagai rasa balas jasa kepadaku, Savety ikhlas menjadi pendamping hidupku. Bahkan ia berjanji akan setia sehidup semati.
Sebuah perjalanan sejarah meninggalkan kenangan manis. Safety yang cantik dan anggun harus takluk di bawah rayuan mautku. Dunia akan cerah. Tak ada lagi mendung yang berarak di langit. Tak ada suasana kecewa dan sakit hati. Kapan kita akan menikah, sayang? pikirku.
Sebelum berangkat ke kantor, aku terbiasa membaca koran harianku, atau koran langgananku yang lain. Secangkir kopi manis dan sebatang rokok menemani di pagi hari.
Sebuah berita cukup mengejutkan perasaanku. Judul berita itu:  Telah lima bulan Safety jadi wanita simpanan seorang manager!
Aku kaget setelah melihat foto Safety terpampang di halaman depan koran itu. Mukaku merah. Kedua telingaku seakan disulut api. Rasa panas menjalar sampai ke ujung rambut. Wanita bajingan! Pikirku.
Aku sadar. Aku harus menyimpan rasa marahku. Aku berusaha mengembalikan suasana wajahku setelah mendengar langkah kaki istriku mendekati tempat dudukku. Bersamaan dengan itu, kedua anakku hendak berangkat ke sekolah. Aku berpesan kepada mereka,”Jadi orang baik-baik, Nak, ya!” 
Mereka mengangguk. Istriku tersenyum. Aku juga tersenyum.

*Tulisan ini dimuat di Tabloid Memorandum, Minggu, 26 September 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi