LelakiI Pemabuk
Barja terus menyeret langkah kakinya. Kadang-kadang jempol kakinya
membentur gundukan tanah dan membuatnya terjatuh. Ia hampir tak mampu membawa
beban tubuhnya sampai di rumahnya. Tubuhnya terasa sangat lemas. Tenaga yang ia
miliki hampir habis setelah mengadakan pesta miras dengan teman-temannya di
sebuah café.
Barja terus menyeret langkah kakinya. Angin malam yang menerpa tubuhnya tak
dihiraukannya. Padahal, suasana malam itu sangat dingin. Mungkin pengaruh
alkohol yang bersarang dalam tubuhnya membuat Barja tak kedinginan. Hanya
rambutnya yang ikal dan gondrong seakan terusik terpaan udara malam yang
santer.
Tiba-tiba Barja merasakan sebuah pentungan mendarat pada bagian
punggungnya. Barja tersungkur di tanah. Ia berusaha membalikkan tubuhnya sambil
mengeram kesakitan. Ia melihat dua orang berdiri tegar dan gagah sambil
memegang sebuah pentungan berukuran sekitar satu meter. Tapi Barja tak bisa
mengenali kedua orang tersebut. Wajah mereka tertutup kain ala ninja.
Penampilan mereka membuat Barja dicekam rasa takut. Jangan-jangan kedua orang
tersebut memiliki sifat kejam seperti yang dimiliki seorang ninja.
Jangan-jangan mereka adalah utusan Malaikat Jibril yang akan menjemput nyawa
Barja. Ah!
Piyar! Piyar! Piyar! Piyar!
Barda tak sempat berpikir lebih panjang lagi. Kedua orang itu mendaratkan
pentungannya di tubuh Barja secara bertubi-tubi. Lalu suasana menjadi lebih
gelap. Lebih gelap dari suasana malam yang menyaksikan sebuah adegan tersebut.
Malam semakin mencekam. Kedua orang tak dikenal itu telah pergi. Hanya
tubuh Barja yang masih terbujur dalam keadaan tak sadarkan diri. Lolongan
srigala melengkapi suasana mencekam malam itu.
Barja baru sadar setelah istrinya menyediakan makan untuknya. Kedua
mata Barja seakan liar. Ia melihat ke sana-kemari. Menatap istrinya dengan nada
ketakutan. Ia seakan mau lari ketika istrinya hendak menyuapinya dengan
sesendok air putih. Barja hanya mampu menggerak-gerakkan kedua bola matanya.
Rasa sakit menguasai seluruh tubuhnya. Apalagi di bagian punggung, tempat kedua
orang tak dikenal itu mendaratkan pukulannya.
“Tenang, Mas, aku Maslikah, istrimu.”
Barja terlihat lebih tenang. Tatapan matanya tak lagi liar. Ia baru
menyadari bahwa perempuan cantik yang ada di depannya adalah Maslikah,
istrinya. Ia juga baru menyadari bahwa ia berbaring di rumahnya sendiri, di
ranjangnya sendiri, ditemani istrinya sendiri.
Tubuh Barja memang terasa sakit. Tapi dinding-dinding hatinya menangkap
seribu bahagia yang tak ditemukannya di café-café ketika berpesta minuman
keras. Dalam keadaan seperti itu, Barja selalu merasakan nikmatnya kasih sayang
yang diberikan Maslikah. Maslikah menyuapinya dengan segala cinta yang terpatri
dalam jiwanya. Bahkan, sorot mata Maslikah mampu memancarkan ketulusannya
ketika melayani seorang suami tercinta.
“Kau tak salah memilih aku sebagai seorang suami, hah!” tanya Barja pada
suatu hari.
“Aku berjanji takkan menjilat ludah yang telah kutelan, Mas.”
“Maksudmu?”
“Dulu aku bernah berjanji bahwa aku akan setia kepada Mas sehidup-semati.”
“Dulu kau tak tahu bahwa aku seorang pemabuk.”
“Mas bisa mengubah kebiasaan buruk itu. Mas bisa mengubah status pemabuk
menjadi bukan pemabuk. Mas bisa mengubah pemalas menjadi bukan pemalas. Mas
bisa mengubah kepribadian Mas yang buruk menjadi baik. Hal tersebut tergantung
kesungguhan Mas mengubahnya.”
“Seandainya aku tidak mau mengubahnya?”
“Itu adalah pilihan, Mas. Dan Mas sendiri yang berhak.”
“Apakah kau masih akan jadi istri setia?”
“Bagiku, hal tersebut merupakan sebuah tantangan agar aku bisa mengubah
kepribadian seorang suami. Jika tidak, berarti aku gagal memperbaiki pribadi
Mas.”
“Berarti kau takkan lagi jadi istri setia?”
“Aku hanya mempunyai cinta sejati, Mas, tentunya dengan segala ketulusan
yang kumiliki. Jika Mas tidak mau mengubah kepribadian Mas yang suka mabuk dan
malas-malasan, aku tetap takkan mengubah
kualitas cinta terhadap Mas. Aku hanya mempunyai cinta sejati walaupun
aku sendiri tak pernah memperoleh cinta sejati dari Mas.”
Pagi menyembulkan matahari di ufuk timur. Barja terbangun dari tidurnya
sejak azan subuh berkumandang dari musholla kiai Sholeh. Suluruh tubuhnya masih
terasa sakit. Maslikah hanya mengobati tubuh Barja dengan daun-daun yang
diambil dari pekarangan rumahnya yang diracik secara tradisional. Maslikah
sudah tidak mampu lagi membawa Barja ke rumah sakit. Selama beberapa bulan
terakhir, Barja tak pernah memberi Maslikah sepeser uang untuk belanja atau
ditabung. Ia menanggung sendiri beban hidupnya berkat sebuah toko kecil warisan
orang tuanya. Bahkan, kebutuhan Barja juga sering diambilkan dari hasil jualan
itu.
Bagi Maslikah, mengubah kepribadian suaminya menjadi orang baik-baik
merupakan dambaan yang harus dicapainya. Barbagai rayuan dan bujukan Maslikah
lakukan untuk meluluhkan hati suaminya. Barbagai cara yang ditawarkannya agar
Barja tidak lagi demen bermabuk-mabukan. Pernah Maslikah menyuruh Barja
menikah lagi dengan Martini asalkan Barja menghentikan kebiasaan buruknya itu.
Semula, Barja setuju dan Maslikah terlihat sangat gembira. Beberapa saat
kemudian, Barja menarik pernyataannya. Barja tidak yakin bisa berhenti mabuk.
Mengapa bisa tidak yakin?
Sudah beberapa kali Barja berjanji berhenti mabuk. Seperti halnya pada
awal-awal bergabung dengan teman-temannya yang suka mabuk, Barja merasa kapok
ketika beberapa temannya kena razia. Waktu itu, Barja masih beruntung bisa
menyelamatkan diri dari kepungan polisi. Barja berjanji akan bertobat atas
kekhilafan yang telah ia perbuat.
Rupanya Barja melanggar kejernihan suara nuraninya sendiri setelah beberapa
kali seorang temannya membujuk agar Barja mau ikut pesta miras di sebuah café. Ia tak
lagi mengingat tobat. Ia tak lagi mengingat Tuhan dan kematian. Ia berpesta
miras dengan beberapa temannya sampai pagi. Sedangkan istrinya masih setia
menunggu sambil membentangkan doanya di atas sajadah. Air mata Maslikah menetes
dan terlihat sangat jernih, sejernih ketulusannya mendoakan sang suami.
Sudah beberapa kali Barja berjanji akan berhenti mabuk dan minum-minuman
keras. Tapi sebanyak itu pula janji itu dilanggarnya. Hal itulah yang membuat
Barja tak bersedia menikah dengan Martini. Barja tak yakin
bisa memenuhi permintaan istrinya.
“Aduh, tubuhku terasa sangat sakiitt…!” Barja ingin
mengangkat bagian kepalanya. Tapi rasa sakit di sekujur tubuhnya tak mampu
memenuhi keinginan hatinya.
“Jangan banyak bergerak dulu, Mas!” Maslikah memohon sambil memegang bagian
kepala dan tangan Barja. Setelah itu, Maslikah menyiapkan bubur untuk suaminya
itu.
Dalam keadaan sakit, diam-diam Barja masih mengagumi sosok seorang istri
yang mampu menciptakan keindahan dan keharmonisan di rumah. Barja menyadari
bahwa ketenangan batin tidak hanya didapat dari pesta minuman keras. Tapi di
sisi lain, Barja meyakini bahwa dirinya tidak mungkin bisa berhenti dengan
kebiasaan buruknya itu.
Beberapa hari berikutnya, keberadaan Barja semakin parah. Maslikah sangat
panik. Ia harus mencari pinjaman uang untuk membawa suaminya ke rumah sakit.
Tapi siapa yang akan memberikan pinjaman uang sepagi ini. Subuh masih belum
menjemput orang-orang dari balik selimut tidurnya. Tapi apa boleh buat, demi
kesetiaanya pada seorang suami, Maslikah melangkah pergi menembus dinginnya
pagi. Hingga ia sampai di sebuah rumah janda kaya. Namanya Mbok Inah.
Sedangkan Barja masih terbaring di atas ranjangnya. Suhu badannya
semakin panas. Tatapan matanya semakin liar. Seakan ia melihat alam lain yang
selama ini tak dikenalnya. Mulutnya ngomong ngalor-ngidul. Barja
terlihat sangat ketakutan dan seakan mau berlari dan pergi dari tempat itu. Kedua
bola matanya memelototi dua orang tak dikenal sambil memegang pentungan
masing-masing. Barja masih sempat mengingat bahwa kedua lelaki itu adalah orang
yang memukul Barja beberapa hari yang lalu, ketika Barja baru pulang dari
sebuah café, tempat ia berpesta minuman keras.
Barja semakin tak mampu mengerakkan tubunya. Kemudian ia
berusaha berteriak sekuat-kuatnya. Tapi salah seorang di antara mereka
buru-buru memenuhi mulut Barja dengan benda cair berbahu alkohol. Hingga
akhirnya ia tak mampu bernapas dengan mata melotot.
Maslikah
baru datang ketika suaminya sudah kaku menjadi mayat dengan posisi tubuh yang
mengerikan. Air mata Maslikah berderai. Ia merasa bersalah. Ia merasa terlambat
membawa suminya ke rumah sakit. Ia merasa terlambat mengubah suaminya menjadi
orang yang baik. “Tuhan, maafkan dia!” serunya.
*Tulisan ini dimuat di Harian Umum Surabaya Post,
Minggu, 26 September 2010.
Komentar
Posting Komentar