Cerita Mistis dalam Kastel Carpathians
Judul Buku : The Castle of The Carpathians
Penulis : Jules Verne
Penerjemah : Prisca Primasari
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan : I, Juni 2017
Tebal : 248 halaman
ISBN :
978-602-402-074-3
Serupa catatan budaya, karya sastra lahir
sebagai rekaman pengarang terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Karya
tersebut walaupun tidak sepenuhnya fakta, tetapi juga tidak semuanya fiktif.
Karya sastra memiliki nilai-nilai hiburan, juga terdapat nilai pendidikan yang
disajikan kepada pembaca. Dalam hal ini, penulis dituntut mampu merangkai
kalimat dengan apik, sekaligus dituntut mampu menyelipkan nilai edukatif
kepada pembaca.
Terkait hal tersebut, Jules Verne menyajikan novel
The Castle of The Carpathians. Novel ini kali pertama diterbitkan pada
tahun 1893 dan dianggap sebagai karya yang menginspirasi Brem Stoker dalam
menulis karya populernya, Dracula. Karya Jules Verne ini, hemat saya,
adalah novel inspiratif, sekaligus novel mistis yang sangat mendebarkan.
Pembaca diajak berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain, dari alam
rasional hingga alam mistis.
Dikisahkan, di Desa Werst yang terletak di
antara pegunungan Carpathians, Transilvania, berdirilah sebuah kastel yang
menurut penduduk setempat angker. Pola pikir masyarakat sekitar masih
memercayai hal-hal mistis. Kondisi ini terlihat pada awal cerita bahwa seorang
tokoh bernama Frik, seorang penggembala, berada di dekat sebuah kastel. Dalam
kejernihan cakrawala, sekitar satu kilo meter dari tempat Frik berada, berdiri
bangunan yang rangka-rangkanya tampak samar dari kejauhan. Kastel tua itu
menjulang di sisi curam dataran tinggi plato Orgall, di bahu pegunungan Vulkan
yang terisolasi.
Dalam cahaya terang-benderang, kastel itu
tampak mencolok dan sejelas lukisan. Namun, tetap saja, penglihatan Frik
pastilah sangat baik karena mampu menyaksikan bagian-bagian terperinci kastel
dari jarak jauh. Frik berkata,”Kastel tua! Kastel tua! Kau boleh saja berdiri
tegak di atas fondasimu. Namun tiga tahun lagi kau pasti sirna, karena dahan
pohon beech-mu hanya tersisa tiga batang.” (hal. 12).
Betapa merindingnya tokoh Frik menatap kastel
itu. Perkataan tersirat dari tokoh Frik adalah bagaimana ia membenci kastel
tersebut. Kastel tersebut tidak berpenghuni, setelah pemiliknya yang terakhir,
Baron Rodolphe de Gortz dirumorkan tewas dalam pengembaraannya. Namun terkadang
ada asap yang membubung dari kastel tersebut, serta penampakan sesosok wanita
pucat yang bergentayangan.
Entahlah, apakah fenomena tersebut merupakan
kisah nyata yang dialami masyarakat atau sekadar cerita dari mulut ke mulut.
Yang jelas, masyarakat memercayai adanya hantu, alam ghaib, atau cerita-cerita
yang tidak bisa dijangkau oleh nalar dan akal sehat. Bisa saja, pola pikir
masyarakat Desa Werst, di antara pegunungan Carpathians, Transilvania itu masih
sangat tradisional karena termasuk masyarakat yang terisolasi. Lalu, bagaimana
penulis novel ini mengungkap kejadian mistis ini?
Jules Verne menampilkan tokoh Count Franz de Telek. Tokoh
ini merupakan seorang pengembara yang tertarik dengan kisah-kisah mistis
seputar Kastel Carpathians. Dia mengolok-olok para penduduk yang ketakutannya
tak berdasar dan memutuskan menyelidikinya sendiri. Selain Count Franz de
Telek, penulis novel ini juga menghadirkan Master Koltz dan kawan-kawan. Mereka
memahami bahwa pasti ada benang misterius yang menghubungkan Count Franz de
Telek dengan pemilik kastel, Baron Rodolphe de Gortz.
Meskipun penasaran, mereka berusaha untuk diam
dan tidak mencari tahu. Nanti juga mereka akan tahu dengan sendirinya.
Sebenarnya, mereka sangat bingung dengan rangkaian kejadian aneh yang pernah
dijumpainya. Count Franz de Telek ingin menguak misteri itu demi menenangkan
orang-orang di desa Werst. Dia tak ragu bahwa sekelompok pencurilah yang telah
berlindung di dalam kastel tersebut. Dia mantap untuk menghentikan permainan
hantuan-hantuan itu dengan melaporkan sang dalang pada pihak kepolisian (Hal.
158-159).
Sungguh, novel ini mengajak pembaca bertualang
menghadapi peristiwa-peristiwa yang dianggap aneh. Penulis sangat piawai
merangkai kalimat dan menciptakan konflik antartokoh dengan tokoh lainnya.
Bahkan, ia mampu menciptakan suspen yang mengikat pembaca untuk
menyelesaikan bacaannya hingga akhir cerita.
*Tulisan ini dimuat di Harian Bhirawa, Surabaya, 14 September 2017
**Suhairi adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Pamekasan Madura
Komentar
Posting Komentar