Mengkritisi Kondisi Bangsa tanpa Melukai


                    Judul Buku : Dijamin Bukan Mimpi: Kumpulan Cerita Satiris 
                                          & Inspiratif
Penulis        : Musmarwan Abdullah
Penerbit      : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan      : I, 2016
Tebal          : x + 342 halaman
ISBN          : 978-602-03-2664-1

Tidak semua orang mampu mengkritisi kondisi bangsa tanpa melukai pihak lain.  Tetapi, Musmarwan Abdullah mampu melakukannya dengan cara satire. Melalui buku Dijamin Bukan Mimpi: Kumpulan Cerita Satiris dan Inspiratif, ia menyajikan cerita-cerita singkat tentang berbagai hal; baik peristiwa kecil yang terjadi sehari-hari maupun kejadian-kejadian unik tak terduga, tentang ketimpangan sosial dan ketidakadilan, yang terjadi saat ini maupun di masa lalu. Cerita-cerita ini akan menyentil pembaca agar menjalani kehidupan ini menjadi lebih arif dan bijaksana.
Cerita-cerita ini serupa perenungan dan penggalian nilai yang menyentuh persoalan sosial, agama, pendidikan, dengan filosofi ringan dan dikemas dalam gaya ungkap sastrawi yang indah. Maklum, penulis buku ini adalah seorang sastrawan dan seorang pemikir yang telah melahirkan sejumlah puisi dan cerita pendek. Melalui kemampuannya meracik kata-kata, ia mampu ‘menyentil’ perilaku kita tanpa harus melukai.
Salah satu peristiwa yang dijadikan objek pembahasan dalam buku ini berjudul Di Mana Bumi Dipijak, di Situ Kamu Kawin. Mas Marwan—begitu panggilan akrab Musmarwan Abdullah—menyentil kondisi yang terjadi di seputar Kota Sigli, Nangroe Aceh Darussalam. Di sana , ada beberapa perusahaan hasil bumi dan kelautan yang dimiliki bukan etnis asli daerah itu. Namun, yang menjalankan semua perusahaan itu—dari manajer sampai karyawannya—adalah orang-orang selingkungan sehingga perusahaan itu bagaikan milik mereka. Dengan demikian, tak ada istilah kecemburuan sosial. Bahkan, pemilik perusahaan telah menjadi bagian dari keluarga mereka sendiri (hal. 30).
Cerita satire lainnya berjudul Kita Adalah Rakyat. Mas Marwan ingin menjelaskan bahwa kita hidup di negeri yang menampung segala keluhan rakyat. Ia mengkorelasikan fenomena ini dengan sistem demokrasi di Indonesia; dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pajak pun berasal dari rakyat dan digunakan untuk kepentingan rakyat. Melalui judul ini, Mas Marwan ingin menekankan ketaatan rakyat dalam hal membayar pajak untuk membayar gaji pegawai.
Kita membayar untuk itu, melalui pajak dari secangkir kopi yang kita minum, melalui pajak dari sebambu beras yang kita tanak, atau memalui pajak yang kita bayar dalam ongkos bajak sawah kita. Kita adalah rakyat. Kita tak pernah membiarkan orang-orang bekerja di instansi publik (kantor pemerintah) itu tanpa kita bayar. Dari tunjangan anak, tunjangan beras, tunjangan istri, sampai ke biaya perjalanan mereka kita bayar (hal. 70).
Mas Marwan sedang ‘menagih’ kinerja aparat yang digaji menggunakan uang rakyat. Pesan tersirat dari teks di atas memiliki implikasi kuat ke arah itu. Bahkan, pesan tersebut lebih tajam dari sebuah khotbah di atas mimbar. Ia ingin menggelitik secara halus aparat pemerintah dengan kinerja rendah. Ia sepertinya menyadari istilah ‘gaji buta’ hingga kini masih ada. Dengan artian, seorang aparat negara yang sering bolos atau menjalankan amanat dengan setangah hati,  dianggap makan gaji buta.
Sentilan lain terdapat pada judul Gila Itu Penting untuk Bertahan Hidup. Penyakit psikologis itu tiba-tiba dianggap menjadi sesuatu yang urgen. Saat disergap muatan kecerdasan atau ditimpa problem kehidupan melebihi kemampuan jiwa, manusia akan gila sebagai jalan keluar penderitaan. Gila adalah kemampuan psikologis manusia dalam menciptakan keseimbangan batin secara otomatis untuk bertahan hidup. Gila adalah suatu kondisi kejiwaan yang ideal (hal. 338).
Kisah satire lainnya juga termaktub dalam dalam buku ini. Cerita-cerita ini bisa jadi memang betul-betul terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari atau sekedar fiktif yang ditulis Mas Marwan. Walaupun cerita-cerita dalam buku ini banyak menyindir pembaca, saya yakin tidak akan membuat tensi darahnya naik. Inilah kelebihan Mas Marwan dalam mengemas buku ini menjadi cerita yang menarik, tanpa harus melukai.  

*Tulisan ini dimuat di Harian Pagi Radar Madura (Jawa Pos Group), Minggu 26 Maret 2017
**Suhairi adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan Madura

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi