SUARA AZAN
Suara azan itu seperti selalu menggema dari load speaker mesjid di
kampung ini. Padahal, Suparto, yang biasa mengumandangkan azan sudah meninggal
dunia dua minggu yang lalu. Orang-orang setengah percaya setengah tidak. Mana
mungkin Suparto kembali melantunkan azan. Juga tak mungkin ada orang lain yang
menggantikan posisi Suparto, dengan suara dan alunan yang sama dengan cara azan
Suparto.
Orang-orang berduyun-duyun mendatangi mesjid. Mereka ingin memastikan,
apakah Suparto hidup lagi atau ada orang lain yang menggantikan posisinya
sebagai muaddzin. Di halaman mesjid, tak seorang pun yang berani
mendekat ke mimbar, atau sekedar mendekat ke pintu mesjid. Jangan-jangan,
pelantun azan tersebut roh Suparto yang gentayangan dan sudah menjadi pocong.
Setelah hampir satu jam menunggu, ternyata tak seorang pun yang keluar dari
mesjid. Orang-orang membubarkan diri sambil menyimpan tanda tanya dalam diri
mereka masing-masing.
”Tak mungkin ada orang lain yang melantunkan azan di mesjid itu,” kata
seseorang.
”Iya. Apalagi, suara itu mirip suara Suparto. Itu bukan suara siapa-siapa.
Itu pasti suara Suparto,” yang lain menanggapi.
”Kau betul. Jarang sekali dua orang memiliki kemiripan suara. Termasuk
irama dan tangga lagunya ketika melantunkan azan.”
”Jangan-jangan, mesjid itu telah dihuni pocong?”
Suparto tak pernah absen melantunkan azan lima kali sehari, yakni ketika
Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isyak. Namun, orang-orang seperti tak
menghiraukan panggilan sholat tersebut. Tak seorang pun yang mau melaksanakan
sholat berjamaah bersama Suparto. Ia melantunkan azan sendiri, iqomah sendiri,
lalu melaksanakan sholat sendiri. Sebenarnya, ia ingin sekali melaksanakan
sholat berjamaah. Memperoleh pahala dua puluh tujuh kali lipat. Tetapi,
bagaimana caranya agar dirinya memperoleh berlipat ganda pahala ketika tak
seorang pun yang mau menemaninya melaksanakan sholat berjamaah?
Suparto seperti hidup seorang diri. Bahkan, ia sering dicibir dan dicemooh
tetangga.
”Sok suci.”
”Sok alim.”
”Paling-paling, nantinya hanya jadi teroris.”
Cibiran dan cemoohan tak ditanggapi serius oleh Suparto. Ia tetap
melantunkan azan, iqomah, lalu melaksanakan sholat fardu di mesjid tersebut.
Sebelum memulai sholatnya, ia kembali menoleh ke kanan dan ke kiri. Barangkali,
ada seseorang yang datang ke mesjid dan mau melaksanakan sholat berjamah.
Namun, Suparto selalu tak menemukan siapa-siapa. Kembali ia melaksanakan sholat
seorang diri. Persis di tempat imam. Paling depan. Barangkali, beberapa saat
kemudian, masih ada seseorang yang datang dan melaksanakan sholat di belakang
Suparto sebagai makmum.
**********
Setiap jumat pagi, Suparto membersihkan lingkungan mesjid. Rumput-rumput
yang menjalar dicabuti. Daun-daun yang berserakan dipungut satu per satu. Lalu
dikumpulkan dalam sebuah kubangan di pojok kiri halaman mesjid. Bebatuan
sebesar kepalan tangan orang dewasa juga dipindah ke pinggir. Gundukan-gundukan
tanah dicangkuli hingga menjadi rata.
Lantai mesjid disapu hingga bersih. Sawang-sawang yang menggantung di
setiap pojok dibersihkan menggunakan sapu lidi yang disambungkan pada sebuah
bambu sepanjang tiga meter. Sesekali ia harus mengerjapkan sorot matanya.
Kotoran-kotoran yang terlepas dari ujung sapu sesekali menimpa sudut matanya.
Kamar kecil tempat wudhu dibersihkan. Kran air yang selalu macet
diperbaiki. Ia berharap, hari Jumat ini, lingkungan mesjid menjadi indah,
bersih, dan asri. Namun yang lebih penting, hari ini orang-orang mau menghadiri
mesjid ini dan melaksanakan sholat Jumat.
Setelah matahari condong ke arah barat, tak seorang pun yang datang.
Suparto hanya duduk sambil menopangkan kedua tangannya pada dagunya yang
lancip. Ia tak mungkin melaksanakan Sholat Jumat seorang diri.
Suatu pagi. Suparto mendatangi tetangga yang rumahnya berdekatan dengan
mesjid. Ia meminta agar mesjid di kampung itu menjadi ramai dengan sholat
berjamaah setiap saat. Lalu melantunkan ayat-ayat suci selepas Sholat Subuh.
”Pak Midun, alangkah baiknya jika kita melaksanakan sholat jamaah bersama
setiap saat. Apalagi, pahalanya dua puluh tujuh kali lipat dibanding sholat
sendirian,” bujuk Suparto.
”Maaf, Mas Parto. Saya sangat sibuk. Apalagi, kalau azan Dhuhur, saya masih
bekerja di sawah. Baru pulang ke rumah saat menjelang maghrib,” jelas Pak
Midun, beralasan.
Tak seberapa lama, Suparto pindah ke rumah di sebelahnya.
”Pak Dulla dan Mas Rizal, bagaimana kalau kita sama-sama melaksanakan
sholat berjamah di mesjid kampung ini. Selain pahalanya berlipat, juga
dimudahkan rezeki, lho,” kali ini Suparto mengiming-imingi dengan ucapan
’dimudahkan rezeki’.
”Maaf, Nak Parto, saya sholat di rumah saja. Lagi pula, dari dulu, saya
sholat di rumah, kok,” Pak Dulla juga beralasan.
”Kalau aku memang jarang sholat. Jadi, ngajak yang lain aja,” Rizal malah
mengatakan yang sebenarnya bahwa dirinya memang jarang melaksanakan sholat,
walaupun dalam KTP-nya tercatat sebagai pemeluk agama Islam.
Suparto juga mendatangi kantor-kantor yang berdekatan dengan mesjid. Ia
mengajak pegawai kantor agar melaksanakan sholat berjamaah, sekali saja setiap
hari. Namun, semuanya menolak.
Sebenarnya, Suparto juga tergolong orang yang sibuk. Sebagaimana mayoritas
penduduk di kampung itu, Suparto juga menggarap lahan; membajak dan mencangkuli
sawah menjelang musim tanam, memberi pupuk, serta menjaga tanaman dari serangan
hama. Ia juga harus menyabit rumput untuk dua ekor sapi dan dua ekor kambing.
Namun, setiap menjelang Sholat Dhuhur atau Sholat Ashar, Suparto menghentikan
pekerjaannya. Pulang ke rumah; mandi, berpakaian rapi, lalu pergi ke mesjid
untuk persiapan mengumandangkan azan. Sebelum matahari terbenam, Suparto
kembali berada di mesjid, baru pulang seusai Sholat Isyak. Begitu juga ketika
menjelang Sholat Subuh. Ia lebih awal bangun tidur daripada para tetangga yang
lain.
Setiap menjelang lebaran, para tetangga berdatangan untuk mengeluarkan
zakat fitrah. Suparto mendata para tetangga yang berhak menerima zakat. Beras
yang terkumpul dibungkus lagi sesuai jumlah warga yang berhak menerimanya.
Walaupun bertindak sebagai amil zakat, Suparto tak mengambil sebiji pun dari
zakat yang terkumpul. Ia lebih senang makan dari hasil keringat sendiri.
”Saya hanya sebagai muaddzin di mesjid. Jadi, zakat fitrah ini akan
saya bagikan kembali kepada yang lebih berhak dan lebih membutuhkan,” kilahnya.
Hampir satu bulan, Suparto tak berhasil mengajak seorang pun melaksanakan
sholat jamaah di mesjid. Namun, ia tetap melantunkan azan setiap saat.
Membersihkan pekarangan mesjid. Memperbaiki kran air yang tersumbat. Atau
membakar tumpukan sampah yang mulai memenuhi sebuah kubangan di pojok kiri
halaman mesjid.
Menurut mendiang ayahnya, azan Suparto seperti suara muaddzin yang
mengumandangkan azan di radio-radio. Maklum, ia adalah alumnus pesantren
terkemuka di kampung sebelah. Maka tidak heran, jika lantunan azan Suparto
mengalun hingga ke sudut-sudut kampung, seperti di bawa angin musim kemarau.
Namun, tak seorang pun yang mau memperhatikannya, apalagi menjawab panggilan
sholat tersebut.
Sejak dua minggu yang lalu, orang-orang mulai merasa kehilangan. Suparto
menghadap sang Ilahi. Tak seorang pun yang bisa dan mau menggantikan Suparto
sebagai muaddzin di mesjid tersebut. Tak seorang pun yang mau
membersihkan mesjid; menyapu lantai dan halamannya, memungut dedaunan kering
yang berserakan, atau memperbaiki kran air di tempat wudhuk.
Kini, halaman mesjid mulai dipenuhi daun-daun yang berserakan, lantainya
berdebu, sel pintunya semakin berkarat, setiap pojok dipenuhi sawang-sawang,
dan tak ada aliran air setelah satu-satunya kran tempat wudhuk macet beberapa
hari yang lalu.
Setiap
menjelang sholat, load speaker di kubah mesjid selalu melantunkan azan.
Persis seperti suara Suparto ketika azan. Orang-orang berkumpul di halaman
mesjid. Namun, hingga beberapa jam menunggu, mereka tak menemukan siapa-siapa.
Ruangan mesjid kosong. Sumenep, 19 September 2010
*Tulisan ini dimuat di Harian Umum Republika,
Minggu, 14 November 2010
**Suhairi Rachmad adalah
alumnus Fakultas Sastra Universita Jember (Unej)
Komentar
Posting Komentar