Orang-Orang Malang


Dor! Dor! Dor!Dor!
Empat buah peluru menembus tubuh kakak kandungku, Mas Rizal. Darah muncrat dari dada dan kepalanya. Kemudian tubuhnya tersungkur mencium tanah. Seluruh tubuhnya dipenuhi darah. Nyawanya melayang setelah bunyi dor yang keempat keluar dari moncong pistolku. Sementara sopir pribadinya terlihat panik. Apalagi mereka hanya berdua. Entah mengapa, ibu, ayah, dan Mas Aldi tidak ikut menikmati liburan saat itu. Aku tidak mau tahu tentang hal itu. Yang penting aku bisa tersenyum setelah berhasil membunuh Mas Rizal.
Kulihat wajah ibu begitu berduka ketika salah satu televisi menayangkan peristiwa itu. Ibu sangat menyayangkan salah satu putranya meninggal secara tidak wajar. Sebagaimana ibu, Mas Aldi juga merasakan duka yang sangat mendalam. Baginya, terlalu banyak kenangan indah yang sulit dilupakan. Ketika masih kecil, Mas Rizal dan Mas Aldi selalu bermain perang-perangan dengan peralatan pistol-pistolan, mobil-mobilan, rumah-rumahan, dan tank yang terbuat dari plastik.
Berbeda dengan ibu dan Mas Aldi, ayahku terlihat lebih tegar menghadapi cobaan yang menimpa dirinya. Ketika diwawancarai oleh wartawan televisi, ayahku hanya pasrah kepada Tuhan. Seandainya ayah tahu bahwa peluru yang menembus tubuh Mas Rizal adalah peluru yang keluar dari moncong pistolku, mungkin ayah akan tersenyum, sebagaimana senyum yang menyembul dari wajahku setelah berhasil membidikkan puluru tepat mengena tubuh Mas Rizal. Selama ini, ayahlah satu-satunya orang yang selalu membelaku ketika ibu dan kedua kakakku memperlakukan aku secara tidak wajar.
Dua tahun berikutnya, terjadi peristiwa yang tidak berbeda dengan peristiwa yang menimpa Mas Rizal. Mas Aldi mengalami nasib yang sama.
Dor! Dor! Dor! Dor!
Empat buah peluru menyambar tubuh Mas Aldi. Ia langsung terkulai lemas dan tersungkur ke tanah. Dari ke jauhan, aku masih sempat melihat ibu berteriak histeris dan kemudian tak sadarkan diri. Sedangkan ayah terlihat shock. Tapi aku tidak begitu lama menyaksikan suasana duka mereka. Aku harus cepat pergi sebelum polisi mengejar jejak kakiku. Kamudian aku pulang menghadap ayah tiriku dan melaporkan bahwa aku sudah selesai melaksanakan agenda terbesarku; membunuh kedua kakak kandungku.
********
Lembayung senja mencipratkan nuansa indah di pojok pekarangan rumahku. Setiap senja, hanya lembayung itu yang bisa kuharap menebarkan sebuah keindahan. Sesaat kemudian, aku tak bisa lagi menatapnya. Gelap telah merampas keindahan lembayung senja dari tanganku.
Aku mulai menata tidurku setelah mengulang mata pelajaran untuk hari esok. Aku tak diperbolehkan nonton televisi atau mendengarkan radio, tidak seperti halnya kedua kakakku. Mereka lebih leluasa menikmati fasilitas yang ada di rumah. Mereka bebas nonton televisi dan mendengarkan radio kapan saja mereka suka. Mereka juga sering bepergian keluar kota; rekreasi ke tempat-tempat yang indah atau sekedar makan di sebuah restoran mahal. Itu informasi yang kudapat dari tetangga sebelah yang merasa iba terhadap keberadaanku.
Aku tidak heran bila teman-teman sekolahku sering mengejekku bahwa aku anak tiri. Mereka  mengatakan bahwa aku anak buangan yang ditemukan di tong sampah. Mereka juga bilang bahwa aku anak zina. Hal itulah yang menata keyakinanku bahwa statusku di tengah-tengah keluarga ini adalah sebagai anak tiri.
“Kamu jangan sok pintar di sekolah ini. Kamu anak tiri!”
“Aku bukan anak tiri. Aku anak kandung dari ibuku. Aku juga punya dua kakak kandung.”
“Bu Indah bukan ibu kandungmu, ia ibu tirimu. Kedua kakakmu itu juga kakak tirimu.”
Aku hampir menangis karena tak tahan mendengar ejekan teman-teman. Walaupun demikian, mereka tak henti menghinaku.
“Lihat, kamu tidak dibelikan baju seragam sekolah seperti kedua kakakmu itu. Kamu beli baju seragam dari hasil jualan jeruk dan es, kan?”
Ejekan seperti itu hampir setiap hari menempel di daun telingaku. Tapi aku bukan anak tiri sebagaimana yang mereka katakan selama ini. Aku sempat melihat sendiri akte kelahiranku. Jelas, namaku tertulis di antara deretan nama yang lainnya.  Dan itulah salah satu saksi bahwa aku anak kandung dari ibuku yang sangat kejam.
Aku memang tak dibelikan pakaian seragam; baju putih, celana merah, topi, dan sepatu. Mainanku juga tak selengkap mainan yang dimiliki kedua kakakku. Mereka mempunyai pistol-pistolan, mobil-mobilan, rumah-rumahan, dan tank yang terbuat dari plastik. Semua permainan itu bisa berfungsi sebagaimana pistol sungguhan, mobil sungguhan, rumah sungguhan, dan tank sungguhan. Sehingga, kedua kakakku itu sering beramain perang-perangan.
Aku pernah bilang kepada ibu agar aku diperbolehkan bermain perang-perangan dengan mereka. Tapi aku dimarahi. Menurut ibu, aku tidak mempunyai peralatan yang lengkap untuk ikut main perang-perangan. Seharusnya aku diperlakukan sama dengan kedua kakakku. Bukankah aku mempunyai hak dan kewajiban yang sama? Bukankah aku juga mempunyai tantangan dan peluang yang sama? Tapi mengapa nasib yang menimpaku tak seindah nasib yang dimiliki kedua kakakku. Aku tak berani membantah dan menatap wajah ibu. Aku mundur sambil menunduk dengan langkah yang sangat pelan.
Keadaan seperti itulah yang membuatku kabur dari rumah. Keputusanku kabur dari rumah ternyata tidak mampu mengubah nasibku menjadi lebih baik. Aku diasuh oleh seorang lelaki yang lebih kejam dari ibu dan ayahku. Ini tercium sejak aku melihat aksesoris yang menempel pada dinding rumah, seperti sebuah pistol yang sengaja di taruh di dinding kamar. Di sebelahnya terdapat sebuah celurit besar yang seakan siap menebas tubuh lawan.
Sebulan lebih aku berusaha mengorek informasi tentang ayah tiriku. Ternyata, ayah adalah salah seorang yang bergabung dalam sindikat penjualan narkoba internasional. Keberadaan sindikat itu sangat rapi. Sehingga hal tersebut tak bisa tercium oleh aparat. Ayah juga bisa hidup dengan leluasa.
“Bagaimana, kamu kerasan di rumah ini?” Tanya ayah.
“Aku sangat senang, ayah,” jawabku walaupun dibuat-buat.
“Mulai saat ini, kamu harus banyak belajar!”
“Belajar apa, Yah?”
“Belajar membunuh!”
“Belajar membunuh?”
“Belajar menyelundupkan barang-barang!”
“Belajar menyelundupkan barang-barang?”
”Ya.”
”Maksud ayah?”
”Barang Haram.”
”Narkoba?”
”Pintar Kau!”
Aku kaget dan tertegun. Aliran darah dan sumsumku seakan terkena sihir. Timbul penyesalan yang tiada tara, mengapa aku harus meninggalkan ibu tercinta, ayah tersayang, dan kedua kakakku yang masih kuingat raut wajahnya. Mengapa aku harus meninggalkan kampungku yang telah membesarkan aku dan telah mendidikku sejak kecil. Mengapa dan mengapa!
Ayahku mendatangkan orang untuk mendidikku menjadi penyelundup andal. Aku mengikuti perintah ayah walaupun terasa berat kulakukan. Apalagi aku bukanlah orang yang berpengalaman dan berpendidikan tinggi. “Ini adalah kesempatan besar buat kamu. Kamu tak mungkin dapat pekerjaan tanpa mempunyai ijazah. Apa kamu mau jadi buruh kasar dengan bayaran kecil?” begitu ayah membujukku agar aku mau melakukan apa yang ayah kehendaki.
Beberapa bulan berikutnya, aku sudah mulai belajar menggunakan pistol. Aku agak kesulitan menggunakannya. Seandainya dulu aku diperbolehkan main perang-perangan dengan kedua kakakku, mungkin aku tak terlalu sulit mengoperasikan pistol. Ah, itu dulu. Yang lalu biarlah berlalu! Tak ada gunanya mengenang masa lalu yang terlalu menyakitkan.
Aku berlatih memfokuskan dan mengkonsentrasikan pikiran. Semangat memainkan pistol ternyata bersemi dengan indah di pelataran hatiku. Aku berlatih dengan rajin dan giat. Entah mengapa, secara tiba-tiba terlintas kedua wajah kakakku di pelupuk mata. Mereka seakan tersenyum dan mengejekku. Seakan-akan aku sedang melihat mereka sedang menikmati liburan di sebuah taman yang sangat indah dan di sebuah hotel berbintang. Aku semakin konsentrasi membidikkan peluru pada bayangan wajah mereka. Aku ingin memecahkan kepalanya, menembus jantungnya, memecahkan kedua bola matanya. Apalagi, selama ini mereka tak pernah merasakan kegundahan hati yang selama ini melilit kehidupanku. Mereka selalu menganggapku bukan saudara kandung. Ah, biadab!
Dor! Dor! Dor! Dor!
“Bagus!  Lebih fokus dan lebih konsentrasi!” kata guru privatku.
“Fokus dan konsentrasi?”
“Fokus pada satu titik dan konsentrasinya tidak boleh buyar.”
“Ya, ya, ya…!”
Dor! Dor! Dor! Dor!
Empat peluru mengena empat sasaran tanpa meleset sedikitpun. Aku menarik nafas lega. Begitu juga ayah dan guru privatku. Mereka tampak sumbringah melihat prestasi yang telah kumiliki.
Suatu malam, aku berbicara empat mata dengan ayah tiriku bahwa aku akan membalas sakit hatiku pada kedua kakakku. Ayah tersenyum bangga. Niat busukku itu merupakan keberhasilan ayah mendidikku menjadi seorang penjahat. Tapi aku tak perduli apakah aku disebut sebagai penjahat atau bukan.
************
Selama ini memang tak ada seorangpun yang mengharagai hidupku, kecuali ayah tiriku. Hingga akhirnya aku berhasil menjadi penyelundup barang haram dan menjadi pembunuh kelas kakap. Aku berhasil membunuh Mas Rizal. Masih teringat di benakku, empat peluru menembus tubuhnya. Dua tahun berikutnya, aku berhasil membunuh kakak kandungku yang lain, Mas Aldi. Empat peluru juga menembus tubuhnya.
Kematian kedua kakakku menyisakan duka yang sangat mendalam, terlebih lagi bagi ibuku. Tapi seperti itulah alur yang telah terjadi. Aku merasa kasihan kepada ibu dan ayah kandungku. Mudah-mudahan mereka mampu mengatasi duka yang cukup menyiksa. Mudah-mudahan mereka juga tak mengutukku menjadi batu, sebagaimana ibu Malin Kundang mengutuknya menjadi batu. Ibu, maafkan aku! Suatu saat, aku akan kembali ke pangkuanmu. Aku akan membayar hutangku sebagai seorang anak durhaka dengan air mata, darah, dan nyawa. Kali ini aku hanya ingin membuat prasasti bahwa ketidakadilan pasti menuai petaka.
Aku dan ayah tiri mengadakan pesta kemenangan. Beberapa anak buah ayah juga ikut merayakannya. Ini adalah pesta terindah dan pesta terlama yang pernah aku rasakan. Kami mengadakan pesta minuman keras ditemani perempuan-perempuan modis dengan dandanan minor. Sejak pagi, hingga larut malam.
Aku semakin mengagumi sosok ayah tiri. Walaupun sepak terjangnya sempat beberapa kali tercium aparat, tetapi ayah pandai memasang umpan. Pasti ada salah satu anak buahnya yang dibekuk aparat, sedangkan ayah bisa hidup aman secara leluasa. Sebulan yang lalu misalnya, ayah hampir tertangkap basah menyelundupkan barang haram ke Malaysia. Ah, bukan ayah jika tak pandai memasang umpan. Ayah kabur dari tempat itu. Sedangan kedua anak buahnya dibekuk aparat kepolisian.
Seminggu berikutnya. Jarum jam menunjukkan pukul 23:15. Aku teringat wajah ibu dan ayah kandung. ”Apakah malam ini mereka masih berduka? Ataukah sedang mengadakan pesta, sebagaimana aku berpesta beberapa hari yang lalu?”
Dor! Dor! Dor!Dor!
Ingatanku kembali melayang pada peristiwa maut. Mas Rizal dan Mas Aldi bersimbah darah, setelah bunyi dor ke empat keluar dari moncong pistolku. Nah, apalagi pekerjaan yang harus aku lakukan, jika semuanya telah terselesaikan dengan baik?
Tok tok tok tok tok...! Tok tok tok tok tok...!
“Siapa?” tanyaku dengan suara keras.
Braaakkkkkkk!!!!!!!!!!!!
”Angkat tangan, ikut kami ke kantor polisi,” mereka langsung memborgol kedua tanganku.
”Maaf, ada apa, Pak? Aku bukan pembunuh!” Aku berusaha memberontak.
”Tapi kau pengedar barang haram!” Kata salah satu di antara mereka, sambil menggiring aku keluar.
”Aku bukan pengedar barang haram!” teriakku lagi.
”Tapi kau seorang penjahat!”
”Ayaaahhhhh!”
Rupa-rupanya rumah ini sudah kosong. Mungkin ayah sudah kabur, entah ke mana. 21 Januari 2010.

*Tulisan ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, Minggu, 25 April 2010.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi