Lampu Templek Mbah Sholeh


Lelaki yang biasa dipanggil Mbah Sholeh itu merebahkan tubuhnya di sebuah ranjang tua. Sebentar kemudian ia terlelap. Ia terlalu capek setelah seharian bekerja; mencangkuli sawah, memberi makan ternak, dan memandikan sapi. Ia harus bangun pagi; mengaji Al-Quran sebelum subuh, mengumandangkan azan, membaca dzikir dengan sisa-sisa suaranya yang tidak terlalu merdu, sambil menunggu anak-anak tetangga mengaji Al-Quran. Setelah Sholat Dhuha, Mbah Sholeh melakukan kegiatan rutinnya. Menjelang mahgrib ia sudah berada di Musolla. Mengurusi anak-anak tetangga mengaji Al-Quran, menghafal sifat-sifat wajib dan muhal bagi Allah dan Rosulnya. Setiap malam Sabtu anak-anak tidak usah mengaji Al-Quran. Mereka belajar dan menghafal bacaan sholat-sholat fardlu.
“Mbah, Rani sudah bisa membaca Al-Quran sendiri, Mbah,” Kata Rani, salah satu santrinya.
“Kalau Ahmad sudah hampir hatam Quran Kecil,” Ahmad tak mau kalah.
“Mbah, jika saya pandai mengaji Al-Quran, saya akan mengaji ke atas Mbah, ya,” Romli juga menimpali santri yang lain seraya menunjuk ke arah lood speaker.
Mbah Sholeh tersenyum bangga. Para santri kecil itu selalu menjadi pelipur hati Mbah Sholeh manakala ia merasakan kegalauan dalam jiwanya. Hal itulah yang membuat Mbah Sholeh bertahan menjadi guru mengaji mereka. Mbah Sholeh tak pernah mengeluh walaupun ia tak mendapatkan suatu materi dari para orang tua maupun dari pemerintah. Baginya, menularkan ilmunya kepada siapa saja yang membutuhkan merupakan anugerah luar biasa.
Beberapa tahun berikutnya, santri kecil Mbah Sholeh banyak yang berhenti. Ahmad melanjutkan ke pondok pesantren; Rani ikut ayahnya pindah tugas; sedangkan Romli sudah semakin dewasa dan tidak mau lagi mengaji di Musolla Mbah Sholeh. Beberapa santri yang lain juga ikut berhenti tanpa alasan yang jelas. Kini, santri Mbah Sholeh tinggal empat anak. Keempat anak tersebut hanya sebagian saja yang aktif. Bisa dipastikan tiap malam yang datang mengaji hanya dua orang.
“Kalau memang yang mengaji Al-Quran hanya tinggal empat anak, kenapa tidak disatukan saja dengan santrinya Kiai Mahfud,”usul Nyai Sholeh.
“Jangan bilang seperti itu, Nyai. Mereka kan mau mengaji Al-Quran kepada saya. Mereka adalah amanah bagi saya.”
“Dengan menyerahkan mereka kepada Kiai Mahfud berarti Mbah masih melaksanakan amanah.”
“Terus, Mbah mau kerja apa?”
“Ya, Mbah lebih enak, tidak usah ngurusi anak-anak nakal itu.”
Tiba-tiba tawa Mbah Sholeh tumpah. Nyai Sholeh hanya tertegun. Nyai seius Mbah, pikir Nyai Sholeh.
Beberapa tahun berikutnya, desa itu semakin ramai dan semakin maju. Pembangunan jalan raya sampai ke pelosok-pelosok. Listrik-listrik menerangi seisi desa hingga ke tempat-tempat yang jarang dijangkau orang lewat. Hampir di setiap atap rumah penduduk berdiri antena televisi.
Suatu malam, Pak Kadir bertamu ke kediaman Mbah Sholeh.
“Kok tumben datang kemari, Pak Kadir?” tanya Mbah Sholeh.
“Oh, maaf, Mbah! Sebenarnya, sudah lama saya ingin kemari, tapi belum ada waktu.”
“Jadi baru sekarang sempatnya?”
“Iya, Mbah. Dan itupun mungkin saya tidak kemari lagi.”
“Memangnya ada apa?”
“Saya mohon doa restu Mbah, anak saya, Rahma, bulan depan akan saya nikahkan.”
“Menikah?”
“Iya, Mbah. Saya mohon doa restu dari Mbah sekalian mohon maaf atas segala kesalahan anak saya selama mengaji Al-Quran di sini.”
“Ooo, begitu.”
“Iya, Mbah.”
“Ya, tak masalah. Berarti santri Mbah tinggal dua anak. Setengah bulan yang lalu, Nita juga keluar dari sini.”
Musolla Mbah Sholeh semakin sepi. Lampu templek yang menjadi penerang anak-anak mengaji Al-Quran semakin meredup. Hingga suatu saat, musolla itu betul-betul kosong. Tak ada anak kecil yang mau mengaji. Mbah Sholeh hanya mampu mengurut dada sambil mengucap kalimat istighfar.
“Mbah seharusnya senang. Tidak ada lagi anak kecil yang mau menggangu Mbah,” Nyai Sholeh berkomentar.
“Mereka tidak mengganggu. Mereka…..”Mbah Sholeh tidak mampu meneruskan kata-katanya. Linangan air matanya menerobos melalui lekukan-lekukan keriput pada wajahnya.
“Seharusnya Mbah senang. Bangun paginya tidak usah terburu-buru. Pulang dari sawah sore hari juga tidak usah terburu-buru. Jadi sekarang bebas. Dan bisa menanam padi lebih banyak lagi. Kalau nanti panen, hasilnya panennya kan lebih banyak dan bisa dipakai buat beli lampu listrik dan televisi,” Nyai Sholeh menghibur.
Mbah Sholeh menundukkan wajahnya. Pandangannya menerobos jauh ke alam akhirat.
“Mengajari anak-anak membaca Al-Quran adalah amal Mbah Sholeh untuk bekal menuju akhirat. Sebentar lagi kita akan menghadap-Nya. Lalu amal apa yang bisa kita haturkan pada penguasa jagat ini?”
Air mata Mbah Sholeh masih mengalir. Semakin deras. Semakin deras. Nyai Sholeh juga merasa terharu. Ia tak kuasa menahan linangan air matanya. “Maafkan Nyai, Mbah!”
Mbah Sholeh menyalakan lampu templek. Yang satu untuk musolla, yang satunya lagi untuk ruangan Mbah Sholeh. Di desa itu, hanya rumah Mbah Sholeh yang tidak mendapat aliran listrik. “Mbah tidak mampu,” katanya ketika ditanya.
Walaupun di musolla Mbah Sholeh tak satupun anak kecil yang mau mengaji Al-Quran, Mbah Sholeh senantiasa menyalakan lampu templek untuk menerangi ruangan Musolla tersebut. Barangkali ada tetangga yang mau mengaji kepada saya, atau solat berjamaah dengan saya, atau ada musafir yang ingin mampir ketika seharian berjalan kaki, pikirnya.
Yang terpenting, setiap senja tiba, ia selalu menyalakan lampu templek seraya menunggu mereka ‘mampir’ di musollanya, walaupun Mbah Sholeh tidak tahu kapan dan siapa yang akan mendatangi musolla tersebut.
Di musolla Kiai Mahfud, tak seorang santripun yang mau mengaji Al-Quran. Anak-anak kecil zaman sekarang lebih suka nonton televisi, ujar Kiai Mahfud, suatu ketika. 
“Lebih baik saya matikan lampu templek ini. Sudah saatnya saya istirahat,” musolla itu menjadi gelap. Mbah Sholeh berjalan tertatih-tatih. Esok paginya, tersebar kematian Mbah Sholeh, namun tak seorangpun yang merasa kehilangan, selain Nyai Sholeh. 

*Tulisan ini dimuat di Majalah Mimbar Pembangunan Agama, Maret 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi