Kado Keranda



Kini aku hanya membayangkan, berapa peluru yang akan menembus tubuh bunda. Satu, dua, tiga, tujuh, sembilan, atau bahkan hingga berpuluh-puluh peluru. Bunda mungkin akan menggelepar-gelepar setelah peluru-peluru itu menembus dadanya, jantungnya, kepalanya, perutnya, dan seluruh anggota tubuhnya. Mungkin juga bunda akan meronta-ronta kesakitan, sedangkan kedua belah matanya tertutup kain. Kedua tangannya diikat erat. Kedua kakinya juga diikat tanpa ada kesempatan bergerak satu senti pun.
Yang lebih mengerikan, darah yang keluar dari pori-pori tubuh yang ditembus peluru akan muncrat. Lalu mengubah warna tubuh bunda yang kecoklatan menjadi warna merah mengerikan. Lalu membasahi padang rumput tempat eksekusi mati itu dilakukan. ”Ah, tidaaakkk!!!!,” aku menjerit sambil menutup mulutku dengan bantal agar tak terdengar tetangga.
Setelah palu hakim menentukan vonis hukuman mati, aku sempat menolak. Aku hanya minta agar diberi ruang diskusi dan dialog. Menurut hakim ketua, bunda seorang penjahat kelas kakap. Membunuh orang hingga sembilan korban jiwa. Tubuh mereka rata-rata dipotong-potong.
”Tolong beri kesempatan saya berdiskusi. Bunda bukan penjahat,” kataku kepada hakim ketua.
”Jangan ganggu kami. Kami bekerja sesuai prosedur.”
”Tapi Anda salah mengambil keputusan.”
”Kami tidak pernah salah mengambil keputusan. Kami bekerja sesuai data yang kami peroleh.”
”Tapi bunda bukan penjahat. Ia seorang pahlawan. Statusnya sederajat dengan R.A Kartini dan Cut Nyak Dien.”
Hakim ketua terkejut setelah aku menyamakan kedudukan bunda sama dengan dua pahlawan tersebut. Kemudian ia mengusirku keluar dari ruangannya. Aku dianggap ngawur. Stres. Tidak waras. 
Usahaku membela bunda tak berhasil. Pelaksanaan eksekusi mati bunda hanya menunggu waktu. Kini aku fokus pada kado yang akan kupersembahkan buat bunda. Sebanyak delapan kali aku tak memberi kado ulang tahun. Dan ini adalah kesempatan terakhirku melakukan hal itu. Kado ini akan kupersembahkan saat ulang tahunnya nanti, yang bersamaan dengan pelaksanaan eksekuti mati buat bunda. Kado keranda ini sebagai tanda pengabdian dan rasa hormatku kepadanya. Namun ironisnya, pengabdian dan kesetiaan ini tak terbaca oleh para tetangga. Mereka hanya mengolok-olokku. Atau bahkan mencaci-maki.
”Kau tak usah berbuat yang aneh-aneh. Doakan saja ibumu, biar tenang di alam kubur nanti.”
”Anak penjahat pasti juga jahat. Mana ada seorang ibu diberi hadiah keranda. Itu kan kurang ajar!”
”Itu kan seperti kata pepatah : buah jatuh tak jauh dari pohonnya.”
”Ibunya akan dieksekusi mati, anaknya stres!”
Mungkin bunda tak akan tahu bahkan tak akan pernah tahu kado terakhir yang kupersembahkan untuknya. Sebuah kado ‘keranda’.  Keranda ini akan mengantarkan bunda pada liang lahat. Sejak hampir sembilan tahun yang lalu, bunda menjadi penghuni jeruji besi di kota ini. Menurut berita yang sering menghiasi media massa, kejahatan yang bunda lakukan tak layak dilakukan oleh seseorang yang memiliki hati nurani. Apalagi dilakukan oleh seorang perempuan. Nyawa sembilan orang korban telah melayang dengan tubuh yang mengenaskan. Dengan sangat kejam—masih menurut berita di media massa--, bunda memotong-motong tubuh kesembilan korban. Namun, nasib naas berpihak pada bunda. Korban terakhir tercium petugas keamanan.
Pukul 24.00. WIB. Malam sangat pekat. Suasana sangat dingin. Tetesan-tetesan embun nyaris menyerupai gerimis turun. Suara air sungai, terdengar jelas dari atas jembatan. Arus sungai bagai sesuatu yang menakutkan; laksana arus yang siap membawa apa saja menuju muara.
Bunda berdiri gagah di atas jembatan tersebut. Setelah dipastikan tak ada yang memantau gerakannya, bunda menatap arus sungai yang mengalir kencang. Bunda berhasrat membuang tubuh korban yang sudah terpotong lima ke sebuah sungai yang tak jauh dari rumah korban. Namun, sebelum mayat itu terlepas dari kedua belah tangannya, dua orang petugas ronda memergoki bunda lalu menyelidikinya. Sebentar kemudian, aparat kepolisian datang dan menahan bunda di kantor polisi. Bunda stres ketika pihak kepolisian mengetahui bahwa bungkusan yang dipegang bunda adalah mayat yang sudah terpotong-potong.
Sejak saat itu, bunda dianggap sebagai penjahat kelas kakap. Apalagi bunda mengaku bahwa ia telah menghabiskan sembilan korban jiwa. Sebagai ganjarannya, bunda harus mendekam selama sembilan tahun penjara. Dan dalam sebuah persidangan, bunda divonis hukuman mati!
Bagiku, bunda bukanlah sosok penjahat yang siap melahap setiap mangsanya. Di mataku, bunda tak ubahnya sosok pahlawan yang selalu memberikan terbaik dan kasih sayang kepadaku; anaknya. Pembunuhan itu terjadi karena bunda menjalankan tugasnya untuk membunuh mereka dengan bayaran lumayan besar.
”Syukurlah, Nak! Kita dapat order pembunuhan,” kata bunda setelah menyelesaikan tugas membunuh korban pertama. Pada awalnya, bunda mengaku gemetar melakukan aksinya. Bahkan, ia sempat beberapa kali gagal. Korban pertamanya bukanlah sembarang orang. Selain ia adalah pejabat penting di kotanya, tempat tinggalnya tak mudah dimasuki oleh siapapun, termasuk warga ’asing’. Namun, untuk bisa menghidupi keluarganya dan bisa melanjutkan pendidikan anak-anaknya, bunda berfikir keras agar bisa membunuh pejabat tersebut. Mula-mula, ia mengaku sebagai perempuan tuna wisma. Ia hanya hidup dari kolong jembatan yang satu ke kolong jembatan yang lainnya. Ia kerap kali bermain kucing-kucingan dengan Satuan Polisi Pamong Praja.
”Di sini tak membutuhkan pembantu. Kami sudah memiliki seorang pembantu,” kata pemilik rumah itu, yang diketahui bernama Pak Dirman.
”Bekerja apa saja saya mau, Pak. Saya hanya butuh makan. Saya tidak punya siapa-siapa lagi,” bunda membujuk agar dikasihani.
”Maaf, Bu! Bukan saya menolak keinginan ibu menjadi pembantu di sini. Tapi, kami masih belum membutuhkan tenaga ibu,” Pak Dirman tetap menolak keinginan bunda menjadi pembantu. Karena tak membuahkan hasil, akhirnya bunda pulang dengan tangan hampa. Namun, bunda tak putus asa untuk bisa menghabisi nyawa Pak Dirman. Sebab, imbalan yang dijanjikan orang yang memberi order lumayan besar. Lima juta rupiah.
Menjelang lebaran, kembali bunda mendatangi rumah Pak Dirman. Pada saat lebaran tiba, para pembantu rumah tangga biasanya pulang kampung. Dan inilah salah satu peluang bagi bunda untuk menawarkan jasanya di rumah pejabat itu. Konon, Pak Dirman adalah pejabat paling jujur di instansinya. Ia tak mau makan gaji buta, apalagi makan gaji hasil korupsi. Akibat kejujurannya itu, terdapat beberapa staf yang terancam hukuman penjara, setelah sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat mencium aroma korupsi berjamaah di instansi tersebut.
”Ya, ibu diterima menjadi pembantu sementara di rumah ini. Tapi tidak lebih dari satu minggu,” kata Pak Dirman. Bunda faham, menjadi pembantu selama satu minggu berarti menjadi pengganti pembantu tetap di rumah itu. Waktu satu minggu memang bukan waktu yang lama untuk menjalankan misi pembunuhan terhadap Pak Dirman. Persiapan tersebut harus matang. Tak boleh gagal, dan tak boleh ada jejak yang ditinggalkan agar bunda tak dibekuk petugas keamanan.
Hari ketiga sebagai pembantu rumah tangga, bunda mulai melancarkan aksinya. Namun sayang, Lisa, anak Pak Dirman memergoki bunda yang sedang menuju kamar Pak Dirman. Untung saja bunda memiliki alasan yang masuk akal. Sehingga, rencana pembunuhan yang akan dilakukan pada malam itu tak sempat terbongkar.
Aksi pembunuhan itu baru terlaksana pada hari kelima. Entah bagaimana caranya bunda menghabisi nyawa Pak Dirman. Menurut pemberitaan di media massa, pak Dirman ditemukan tewas di kamar kecil, dengan sebelas tusukan di bagian dada dan perutnya. Dan sejak saat itu pula, bunda menghilang dari rumah tersebut. Tanpa meninggalkan jejak. Tanpa meninggalkan identitas. Tanpa meninggalkan apapun yang menyebabkan bunda terlacak oleh aparat keamanan.
Beberapa hari kemudian, bunda pulang; menemuiku di rumah. Lima puluh lembar uang ratusan ribu memenuhi isi dompetnya. Dari itulah aku yakin bahwa apa yang bunda lakukan semata-mata untuk mencukupi nafkah yang aku butuhkan. Jujur saja, tanpa menjadi pembunuh bayaran, tak mungkin bunda bisa memenuhi kebutuhan hidupku dan melanjutkan pendidikanku di bangku kuliah..
Delapan tahun sudah aku tak memberi kado ulang tahun buat bunda. Beberapa hari lagi, bunda harus menjalani eksekusi mati. Juga bertepatan dengan hari ulang tahunnya.
Telah kupersiapkan sebuah kado istimewa buat bunda. Kado ‘keranda’. Keranda ini hanya untuk bunda tercinta yang telah berjuang dengan keringat dan darah. Yang telah memberikan kasih sayang kepadaku. Yang telah berani berhadapan dengan maut demi seorang anak kesayangannya.
“Bunda, aku mengagumi bunda,” kataku suatu ketika.
“Mengapa kamu harus mengagumi seorang penjahat kelas kakap,” tanyanya.
“Bagiku, bunda bukanlah seorang penjahat. Sesuatu yang bunda lakukan selama ini merupakan salah satu bentuk perjuangan.”
“Mengapa kau anggap perjuangan.”
“Ya, aku menganggapnya perjuangan. Bagiku, seorang bunda yang patut mendapat gelar penjahat kelas kakap adalah seorang bunda yang tega membunuh anak kandungnya sendiri.”
“Tidak ada seorang bunda tega membunuh anak kandungnya sendiri.”
“Kata siapa, Bunda?”      
“Menurutku dan menurut semua orang. Setega-teganya harimau tidak akan menerkam anaknya sendiri.”
“Ini kenyataan, Bunda. Betapa banyak seorang ibu harus membunuh anak kandungnya sendiri yang lahir di luar nikah dengan seorang lelaki teman kantor atau teman akrabnya. Betapa banyak seorang bunda yang tega membunuh anak kandungnya sendiri hanya alasan yang sangat sepele; kemiskinan dan kelaparan misalnya. Bukankah itu kenyataan, Bunda?”
Bunda hanya diam. Bunda seakan menerima segala pernyataan yang kusampaikan. Sorot matanya menerawang jauh, menembus tembok penjara. Seakan ia mengabarkan bahwa dirinya telah memenangkan sebuah pertandingan walaupun harus mendekam di dalam penjara.
Sebagai rasa syukurnya, akhir-akhir ini bunda selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Kini ia selalui beribadah. Ia memandang kematian sebagai sesuatu yang pasti datang dan harus dihadapi dengan persiapan matang.
*********
Eksekusi  mati akan dilaksanakan hari ini. Walaupun kematian berada di tangan Tuhan, kematian yang akan menimpa bunda kuyakini terjadi hari ini. Ketika tim eksekutor membidikkan pelurunya pada tubuh bunda, mungkin mereka puas atas kematian bunda nanti. Mungkin orang-orang juga akan menarik nafas lega dan bersyukur atas kematiannya.
Bagiku, hari ini dunia akan kehilangan seorang pahlawan yang telah banyak berjasa terhadap diriku. Tapi aku tak merasa menyesal, sebab bunda telah menyiapkan segalanya untuk menjemput maut. Tak ada rasa takut sedikitpun..
Bagiku, kematian bunda…………
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
Telingaku seakan mendengar bunyi peluru berhamburan keluar dari moncong pistol tim eksekutor. Aku tak tahu, apakah mereka telah menembak seorang bunda yang telah kucatat sebagai seorang pahlawan?
Aku juga tidak tahu, apakah bunda masih menggelepar-gelepar ketika beberapa peluru menembus dadanya, jantungnya, kepalanya, perutnya, dan seluruh anggota tubuhnya. Ataukah ia merasakan kenikmatan yang luar biasa karena akan menghadap Tuhan. Ataukah………
Tiba-tiba, kedua mataku seakan menangkap cairan merah muncrat dari tubuh bunda. Bunda seakan berteriak-teriak, menjerit, dan meronta. Ia hanya bisa menggerak-gerakkan sebagian tubuhnya.  
Beberapa ikatan mengikat tubuh bunda sangat kuat. Sedangkan kedua matanya ditutupi sehelai kain.Kulihat keranda yang telah kupersiapkan buat bunda memanggil-mangil nama bunda. Tak terasa, kedua mataku mengairi kedua belah pipiku. Aku tak tahu, bagaimana lagi aku harus membalas jasa bunda. “Bunda, keranda ini sebagai kado ulang tahun bunda setelah delapan tahun kita tak pernah merayakannya. Mudah-mudahan Tuhan mengampuni dosa bunda. Amin!” 

*Tulisan ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, Minggu, 20 Desember 2009.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi