Aku, Zidah, dan Ira


Sejuknya suasana Fakultas Sastra Universitas Jember membuat aku betah menjalani kehidupanku sehari-hari. Aku bisa berkenalan dengan mahasiswa dari berbagai daerah; Madura, Sumatera, Banyuwangi, dll. Aku juga bisa berkenalan dengan para dosen dan bercerita banyak tentang budaya asli daerahku; Yogyakarta. Aku sedikit ciut ketika aku tahu bahwa rata-rata dosenku pernah kuliah di Universitas Gadjah Mada dan mengenal banyak tentang budaya Yogya.
Setahun kemudian aku berkenalan dengan seorang mahasiswi MIPA jurusan biologi. Aku tertarik dia karena dia suka bercerita sebagaimana aku suka menulis cerpen. Namanya Zidah. Dia berasal dari Lamongan dan pernah nyantri di Gresik selama enam tahun.
Pada awal tahun baru, aku sengaja mengajaknya makan di sebuah restoran  dekat Matahari Dept. Store. Kebetulan kami suka menu makanan yang sama walaupun minumnya berbeda. Dia suka es jeruk sedangkan aku lebih suka minum kopi susu.
Minggu pagi selepas mengitari alu-alun aku mengatakan bahwa minggu ini aku ada acara penelitian di Banyuwangi.
“Tantang Mantra Jaran Goyang,” kataku.
“Wah, hebat Sampeyan. Nanti bisa melet cewek yang ayu-ayu di Fakultas Sastra. Iya, kan?”
“Iya. Tapi bukan mahasiswi Fakultas Sastra. Aku nggak senang menjalin asmara dengan teman sekampus.”
“Kenapa, Mas.”
“Frekwensi pertemuan itu sangat menentukan kadar rindu dan cinta bagi diriku. Semakin sering aku bertemu, statistik rindu dan cintaku semakin rendah. Dan semakin jarang aku bertemu, luapan emosi untuk memiliki semakin tak terbendung.”
“Alaahh…anak sastra ya ngono. Pandai bermain dengan kata-kata dan merayu.”
Sebenarnya aku tidak bermaksud merayu. Aku juga tidak sekedar bermain dengan kata-kata agar aku dapat dipercaya. Aku lebih suka mengungkapkan isi nurani. Aku lebih menghormati kejujuran walaupun sering berkhir dengan penderitaan dan luka. Aku juga tidak suka menyakiti hati seorang perempuan, apalagi perempuan se ayu Zidah. Keputusanku untuk memilikinya bukan sekedar asal-asalan dan tanpa pertimbangan. Tapi hal itu melalui proses panjang dan penuh pemikiran.
Sehari menjelang keberangkatanku ke Banyuwangi, seakan ada tangan raksasa yang menahan langkah kakiku agar aku tidak pergi. Aku berat berpisah dengan Zidah walaupun perpisahan itu hanya satu minggu. Apalagi ketika Zidah tahu bahwa aku berangkat tidak sendiri, melainkan dengan Ira, teman seangkatan asli Banyuwangi.
“Ira pasti lebih ayu,” katanya dengan pandangan jauh ke depan.
“Ira asli Banyuwangi. Aku yakin dia nanti banyak membantuku dalam penilitian. Apalagi dia banyak tahu tentang seluk-beluk Banyuwangi dan orang yang memiliki Mantra Jaran Goyang.”
Senin pagi, Zidah mengantar kepergianku. Mukanya sangat layu, selayu kembang yang akarnya tak menghirup air selama seminggu. Apalagi ketika dia menatap wajah Ira. Ada nada cemburu yang terselip di hatinya. Seakan dia mengantarkan kepergianku yang tiada akan pernah kembali. Percayalah, sayang. Aku akan kembali.
*****
Seusai menyusun laporan penelitian, aku dan Ira langsung menghadap Pak Ayu Sutarto untuk mendiskusikannya. Ia seorang budayawan alumnus Universita Gadjah Mada Yogya. Pengalamannya di bidang penelitian tidak dapat disangsikan lagi. Ia pernah mengadakan penelitian di Leiden, Belanda selama dua tahun. Aku senang Pak Ayu. Orangnya santai. Sesekali ia menyampakan anekdot-anekdot yang membuat fresh jalan pikiranku. Ia juga senang mengkritik setiap tulisan kami yang menyimpang dari aturan. Walaupun masih banyak revisi, kami senang dan bangga atas cara kerja dan karya kami. Terasa tak ada beban dalam rongga dada dan hatiku. Tapi bagaimana dengan Zidah?
Setelah mendiskusikan hasil penelitian tersebut, siang itu aku langsung menemui Zidah. Aku mengajaknya makan di restoran langganan kami. Restoran murah dekat Matahari Dept. Store. Aku bercerita banyak tentang Banyuwangi, Mantra Jaran Goyang, dan pengaruhnya. Tapi Zidah menanggapi dengan sikap dingin. Sedingin es yang belum tersentuh di depannya.
“Mas nggak mau bercerita tentang Ira?”
Aku hanya tersenyum kecil. Aku faham betul tipe perempuan seperti Zidah. Satu hal yang paling kusukai darinya: dia pencemburu. Rasa cemburu tidak akan timbul tanpa adanya tekanan cinta di dalam hati. Semakin tinggi volume cemburu seseorang, semakin tinggi pula rasa cinta yang ia miliki. Tapi ingat, rasa cemburu sering menimbulkan konflik dan perpisahan.
 Sebulan kemudian aku didaftarkan fakultas untuk mengikuti Diklat Cipta Karya Sastra di Universitas Islam Indonesia-Sudan, Malang. Aku bangga bisa jadi duta fakultas walaupun hanya sebatas mengikuti pendidikan dan pelatihan.
“Bisa membawa teman, Bu?” tanyaku pada ketua jurusan.
“Kamu nanti bersama Ira.”
“Maksud saya, saya mau bersama teman saya dari MIPA,” jelasku.
Bu Asrumi hanya tersenyum. Sebuah senyum yang merupakan jawaban paling jujur,’tidak boleh!’
Aku hanya menghela nafas panjang seraya memikirkan bagaimana cara menghadapi Zidah dan mengatasi rasa cemburunya. Pasti dia bilang,”Lagi-lagi dengan Ira!”
Perpisahanku dengan Zidah terasa lebih berat daripada perpisahan ketika aku melakukan penelitian di Banyuwangi. Beban yang menggumpal di benakku tak mampu kusingkirkan hingga aku menginjakkan kaki di Kota Dingin, Malang. Ira jadi serba salah. Mungkin ia merasa risih dan merasa tidak enak. Tapi sudah kujelaskan tentang Zidah yang sering cemburu dan aku sangat menyukai perempuan seperti itu.
Hotel Wisma Bhayangkara pagi itu terasa sangat sejuk. Tapi rasa sejuk itu tak mampu menembus dinding hatiku yang galau. Kuambil segelas kopi yang tersedia di atas meja. Kusulut sebatang rokok sisa di perjalanan kemarin.
“Hai, bagaimana istirahatnya semalam?” tanya Ira seraya menuju ke arahku.
“Sangat nyenyak. Semua rasa capek hilang. Aku menemukan semangat baru,”jawabku, pura-pura. Aku menyesal. Nuraniku seakan berontak. Mengapa aku harus berbohong. Bukankah aku lebih menghormati sebuah kejujuran walaupun sering berhadapan dengan luka dan derita.
Aku kagum Ira. Sejak dulu. Ia adalah seorang perempuan yang punya etos kerja tinggi. Setengan bulan  yang lalu ia ikut kemah besar kepramukaan di Banyuwangi. Setelah itu ia harus ke Jakarta sebab kakak kandungnya sakit parah. Tapi tak terlihat letih dan capek di wajahnya. Yang ada hanya semangat. Dan rasa semangat itu seakan mengalir ke dalam jiwaku. Aku tidak tahu, mengapa.
Hari ke dua di Malang, aku  sedikit bisa melupakan konflik diri dengan Zidah. Diklat seharian penuh membuatku semakin  mencintai sastra. Terlebih lagi nara sumbernya sangat  lincah dan lihai menyampaikan materi. Aku juga banyak berkenalan dengan beberapa mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi; STSI Bali, Unijoyo Madura, dan UM serta Unibraw Malang.
Pagi ini suasana Fakultas Sastra Universitas Jember terasa lain dari hari-hari yang lalu. Jam sembilan nanti aku dan Ira harus melaporkan segala kegiatanku ke ketua jurusan  selama di Malang. Tapi entah kenapa, aku betul-betul mengagumi Ira. Ira adalah sosok perempuan yang punya semangat tinggi. Ia lincah di berbagai forum dialog dan diskusi. Ia juga sangat sederhana dan mau menghargai teman. Ia juga terpilih jadi mahasiswi berprestasi tahun akademik 2003-2004. Walaupun sosok Ira bukanlah sosok perempuan yang sempurna, tapi nyaris. Aku bukan hanya kagum, tapi ada rasa lain yang aku sendiri hampir tidak mempercayai.
‘Mas tidak mau bercerita tentang Ira?’ kata-kata itu terngiang lagi di telingaku. Kata-kata yang dulu diungkapkan Zidah sesudah aku mengadakan penelitian di Banyuwangi bersama Ira. Kata-kata itu kuanggap sebagai sesuatu yang lucu dan tidak akan berdampak apa-apa. Tapi mengapa, tiba-tiba aku menyetujui rasa cemburu yang ada di benak Zidah selama ini. Mungkinkah Mantra Jaran Goyang telah merasuk ke dalam jiwaku? Ira, betulkah hal itu terjadi? Aku serba salah dan serba tidak tahu mengambil langkah yang paling bijak. Ira, Zidah, maukah kalian kujadikan…? Jember,  14 Maret 2004 

*Tulisan ini dimuat di Majalah TERAPI 2004

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi