Jejak Madura dalam Literasi Budaya


Judul Buku    : Kamis Pagi, Pukul Sepuluh
Penulis           : Nur Inayah, dkk.
Penerbit         : Dinas Perpustakaan dan Kearsipan 
                        Kabupaten Sumenep
Cetakan         : I, Desember 2017
Tebal             : 148 halaman
ISBN             : 978-602-391-510-1

Buku kumpulan cerpen Kamis Pagi, Pukul Sepuluh karya Nur Inayah dkk. ini merupakan sepuluh cerpen terbaik Lomba Cerpen Se-Nusantara dengan suguhan tema budaya Madura. Para cerpenis mengumpulkan data dengan teliti, menyajikannya dengan bahasa satire, atau dengan cara heuristik yang mudah dicerna oleh seorang awam sekalipun. Narasi yang disampaikan dan dialog yang disajikan seperti sajian gambar di atas kanvas. Pembaca diajak melihat goresan detail dan aneka warna kehidupan tentang Madura.
Bakal Tolos, Bakal Burung karya Rofiki Asral, misalnya. Cerpen ini mengangkat cerita tentang budaya pertunangan sejak bayi di Madura. Kisah ini mungkin dianggap hiperbolis, tetapi kenyataannya Madura pernah atau sedang memiliki budaya seperti itu. Kedua orangtua dari masing-masing calon ini memiliki andil besar. Proses pertunangan tidak melibatkan si anak untuk menentukan calon tunangannya. Ironisnya, terkadang si anak tidak tahu bahwa ia sedang menjalani proses pertunangan.
“Sehabis ibu memandikanku, aku digendong menuju kamar. Di sini benar-benar aneh. Tak biasanya kamar ini ikut ramai meski tak persis di dapur. Keluarga-keluarga dekatku yang perempuan ada di sini. Mbak, bibi, nenek, semuanya. Aku duduk di ranjang bersama mereka. Kemudian sambil bercakap-cakap denganku, mereka mulai mendandaniku, memakaikan baju yang sepertinya baru” (hal. 14).
Tokoh aku dalam cerpen ini digambarkan sosok lugu yang tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Rofiki Asral sangat piawai menulis cerita dari sudut pandang anak kecil. Keluguan, kepolosan, dan ketidaktahuan terhadap peristiwa di sekelilingnya tergambar hingga akhir cerita.
Kisah lain, Penjung karya Zainul Muttaqin juga mengangkat budaya Madura. Penjung adalah sejenis selendang yang digunakan seorang penari tayub atau tandak. Seorang penari tayub akan mengalungkan penjung kepada penonton. Berarti, penonton itu berhak menari bersama penari tayub tersebut. Sebaliknya, penonton yang tidak mendapat kalung penjung tidak diberi kesempatan menari bersama penari tayub. Ketika menari, mereka diiringi musik gamelan khas Madura.
Tidak boleh seorang pun menari dengan perempuan itu kecuali ia sendiri yang mengalungkan penjung di leher lelaki yang beruntung, itulah aturan main yang harus diikuti. Tidak hanya itu, siapa pun yang menerima penjung tidak boleh menyentuh tubuh sang tandak, apalagi bertindak di luar batas. Hal ini diterapkan semata-mata supaya perempuan itu tidak merasa dilecehkan harga dirinya sebagai seorang perempuan (hal. 24).
Orang Madura sangat menjunjung tinggi harga diri. Seorang perempuan yang dilecehkan oleh orang lain, keluarga atau suaminya akan bertindak secara tegas. Pepatah Madura “Lebbi bhaghus pote tolang etembhang pote mata”,  “Lebih baik putih tulang daripada putih mata” masih melekat di benak masyarakat Madura. Masyarakat Madura lebih memilih mati berkalang tanah daripada membiarkan harga diri terinjak-injak. Biasanya, jalan yang ditempuh untuk mempertahankan harga diri adalah carok.
Judul Carok juga ikut mengisi kumpulan cerpen dalam buku ini. Karya Fandrik Ahmad ini mengangkat budaya carok yang terkenal hingga ke luar Madura. Fandrik Ahmad menampilkan sosok aku yang menaruh dendam kepada Talhah, seorang lelaki yang telah membunuh ayahnya. Sosok aku harus membalas dendam atas Talhah yang telah menginjak-injak harga diri keluarganya. Hutang nyawa dibayar nyawa, begitu mungkin yang terus bergemuruh dalam dirinya.
“Malam ini aku mematangkan carok balasan kepada Talhah, seorang tengkulak yang telah membuat nyawa bapak melayang demi kehormatan keluarga. Ya, Talhah kerap menggoda ibu di bakap itu yang hampir setiap hari mencuci dan bersiraman di sana. Tak terima dengan perlakuan itu, bapak menantang Talhah melakukan carok tanpa perhitungan yang matang hingga kemudian nyawanya melayang.” (hal. 93).
Tokoh ayah dalam cerita ini berada pada posisi yang “benar”. Ia ingin mempertahankan harga diri keluarganya yang selama ini dijunjung tinggi. Walaupun dalam posisi yang benar, tokoh ayah dalam keadaan tak berdaya menghadapi Talhah. Ia mati di ujung celurit. Ironisnya, sosok aku yang berperan sebagai anaknya kini juga mengalami nasib yang sama ketika menantang carok dengan Talhah.
“Celuritnya dibentangkan di atas dadaku sebagai simbol kepuasan dan kebanggaan atas kemenangan, sekaligus pengakuan bahwa dialah yang membunuhku. Bilapun harus mati di ujung celurit, setidaknya, kehormatan keluarga telah kujunjung tinggi” (hal. 98). Harga diri adalah segala-galanya. Tidak memiliki harga diri sama halnya dengan menjalani hidup secara sia-sia.
Buku kumpulan cerpen ini telah merekam jejak-budaya Madura secara gamblang. Sebagian, budaya tersebut telah punah, sebagian yang lain masih bertahan walaupun laju perkembangan teknologi memasuki setiap perkampungan. Sayang, judul buku Kamis Pagi, Pukul Sepuluh ini tidak memberikan gambaran budaya Madura sebagai isi buku.
Kalau diamati, enam dari sepuluh judul cerpen dalam buku ini lebih cocok dijadikan judul buku, yaitu Bakal Tolos, Bakal Burung (Rifiki Asral, Sumenep), Penjung (Zainul Muttaqin, Sumenep), Abhakalan Canting dan Alu (Wi Noya, Jakarta Timur), Pasar Anom, Nabi Khidir, dan Hal-Hal yang Tidak Mungkin Saya Lupakan (Wahyudi Kaha, Sumenep), Naon (Sengat Ibrahim, Sumenep), dan Carok (Fandrik Ahmad, Jember). Judul-judul tersebut bisa mengaitkan memori pembaca dengan budaya Madura, walaupun secara sekilas .
 *Tulisan ini dimuat di Koran Tempo Akhir Pekan edisi 5793 Tgl 24-25 Maret 2018
**Suhairi adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan Madura

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi