Lampu Templek Mbah Sholeh
Lelaki yang biasa dipanggil Mbah Sholeh itu merebahkan tubuhnya di sebuah ranjang tua. Sebentar kemudian ia terlelap. Ia terlalu capek setelah seharian bekerja; mencangkuli sawah, memberi makan ternak, dan memandikan sapi. Ia harus bangun pagi; mengaji Al-Quran sebelum subuh, mengumandangkan azan, membaca dzikir dengan sisa-sisa suaranya yang tidak terlalu merdu, sambil menunggu anak-anak tetangga mengaji Al-Quran. Setelah Sholat Dhuha, Mbah Sholeh melakukan kegiatan rutinnya. Menjelang mahgrib ia sudah berada di Musolla. Mengurusi anak-anak tetangga mengaji Al-Quran, menghafal sifat-sifat wajib dan muhal bagi Allah dan Rosulnya. Setiap malam Sabtu anak-anak tidak usah mengaji Al-Quran. Mereka belajar dan menghafal bacaan sholat-sholat fardlu. “Mbah, Rani sudah bisa membaca Al-Quran sendiri, Mbah,” Kata Rani, salah satu santrinya. “Kalau Ahmad sudah hampir hatam Quran Kecil,” Ahmad tak mau kalah. “Mbah, jika saya pandai mengaji Al-Quran, saya akan mengaji ke atas Mbah, ya,” Rom