Bersahabat dengan Tuhan, Bersahabat dengan Manusia


Judul Buku : Bersahabat dengan Tuhan
Penulis        : Ahmad Rifa’i Rif’an
Penerbit      : Mizania, Bandung
Cetakan      : I, Mei 2016
Tebal          : 140 halaman
ISBN          : 978-602-418-021-8

Kecerdasan spiritual tidak selamanya beriring-sejalan dengan kecerdasan sosial. Ketika kecerdasan spiritual unggul, kecerdasan sosial bisa tersubordinasi. Nilai-nilai relegius menjadi urgen walaupun tidak menyentuh pada tataran kemanusiaan. Sebaliknya, ketika kecerdasan sosial menjadi dominan, dogma relegiusitas menjadi terabaikan, yang penting atas nama kemanusiaan.
Kalau dikaji secara mendalam, kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial memiliki relasi kuat; satu sama lain akan saling melengkapi. Efek kecerdasan spiritual bisa berdampak positif pada tata hubungan sesama manusia. Sebab, pada konteks komunikasi antarsesama telah diatur dalam dogma agama. Begitu juga komunikasi secara vertikal menjadi lengkap ketika didukung hubungan horizontal yang baik.
Buku Bersahabat dengan Tuhan karya Ahmad Rifa’i Rif’an ini membahas secara lugas agar manusia bisa menjalin hubungan dengan Tuhan tanpa mengabaikan hubungan antarsesama. Buku ini dibagi atas tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang usaha manusia dalam mendekatkan diri kepada Tuhan melalui perbaikan jiwa, membenahi mindset kesalehan, melatih keistiqamahan, dan memperbaiki kualitas keilmuan sehingga bisa beribadah dengan tulus.
Bagian kedua membahas tentang ikhtiar mendamaikan hati dan cara menyikapi persoalan hidup agar tidak mengganggu kebahagiaan jiwa. Sedangkan bagian ketiga membahas hubungan antarsesama dengan cara berbagi, melayani, dan menebar cinta sebanyak mungkin. Poin penting dalam buku ini terletak pada bagian pertama dan bagian ketiga.
Pada sub judul Bersahabat dengan Tuhan yang kemudian dijadikan judul buku ini, penulis membeberkan hasil survei salah satu majalah bisnis terbesar di Indonesia, terkait aktivitas sehari-hari yang mampu membuat manusia bahagia. Responden survei tersebut adalah kaum profesional dan orang-orang yang bergelut pada tataran birokrasi. Ternyata, melaksanakan ritual keagamaan menduduki posisi ketujuhbelas.
Ironis ketika nilai-nilai spiritual tidak lagi menjadi roh kehidupan sehari-hari. Maka tidak heran jika praktik korupsi di negeri ini laksana penyakit kronis yang sulit diobati. Dogma agama yang menentang keras tindakan amoral tersebut tidak lagi menjadi pedoman dalam beraktivitas. Nilai-nilai agama menjadi terabaikan. Inilah yang dimaksud bahwa manusia telah melalaikan kecerdasan spiritual.
Ini bukan berarti bahwa nilai-nilai relegiusitas telah sirna dari aktivitas sehari-hari. Melaksanakan ritual keagamaan menduduki posisi ke tujuhbelas berarti masih ada sebagian orang yang melakukan hal itu walaupun prosentasenya di bawah yang lain, seperti berkumpul dengan keluarga, istirahat, travelling, nonton televisi, shopping, dll.
Diakui penulis, dalam kehidupan moderen yang serba materialistis seperti saat ini, masih ada orang-orang mulia yang menikmati ibadah kepada Tuhan. Dalam kehidupan yang serba cepat dan super sibuk ini, masih ada orang yang menjadikan ibadah sebagai salah satu media untuk mendamaikan jiwa, menenangkan hati, dan membahagiakan hidup. Kita patut iri ketika ada orang yang bisa menikmati salat, zikir, dan tilawah (hal. 16).
Sedangkan bersosialisasi dengan masyarakat menduduki posisi kesepuluh. Hasil survei ini menggambarkan bahwa kecerdasan sosial masyarakat sekarang lebih baik daripada kecerdasan spiritual. Sub judul bagian ketiga buku ini Saatnya Menguras Rekening Kita membahas tentang pentingnya kepedulian terhadap orang lain. Dikisahkan, ada seseorang yang tiap bulan menyisihkan 500 ribu dari penghasilannya. Padahal, gajinya hanya dua juta. Dia rutin menabung 500 ribu hingga Ramadan tiba. Saat Ramadan tiba, dia mengambil tabungannya yang berjumlah enam juta untuk disedekahkan (hal. 125).
Sebenarnya, kedua kecerdasan di atas bisa dipadukan, bergantung niat yang tertata saat memulai beraktivitas. Perpaduan keduanya akan mengangkat kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial untuk menduduki tingkat teratas sebagai sumber kebahagiaan hidup. Manusia akan merasakan nikmatnya menyembah Tuhan, juga akan merasakan kebahagiaan ketika menjalin hubungan antarsesama.
Buku ini serupa pedoman untuk memperbaiki kualitas beribadah kepada Tuhan atau memperbaiki hubungan dengan sesama manusia. Walaupun  demikian, buku ini bukan serupa karya yang sempurna. Penulis mengabaikan keterangan waktu yang bisa membingungkan pembaca, seperti beberapa hari yang lalu (hal. 32 dan hal. 54) dan beberapa hari sebelum Ramadan (hal. 86).
Frase seperti itu menuntut pembaca untuk mengetahui waktu penulisan karya tersebut. Padahal, penulis buku ini tidak membubuhkan waktu dan tempat penulisan karya pada akhir tulisan, sebagaimana lazim digunakan oleh sebagian penulis. Terlepas dari kekurangan tersebut, buku ini layak dijadikan bahan bacaan untuk memperbaiki persahabatan dengan Tuhan, atau persahabatan dengan manusia.

*Suhairi Rachmad adalah alumnus Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi