PUISI YANG MENGEJA MAUT DAN TUHAN



PUISI YANG MENGEJA MAUT DAN TUHAN
Oleh Suhairi Rachmad*
Judul Buku             : Pesan Pendek dari Tuhan
Penulis        : BH. Riyanto
Penerbit      : Kanzun Books, Sidoarjo
Cetakan      : Pertama, Februari 2013
Tebal           : xii + 60 halaman
ISBN          : 978-602-18855-3-6

Karya sastra adalah hasil sebuah perenungan yang mendalam dari seorang pengarang dengan media bahasa. Pengarang menuangkan pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, dan semangat keyakinan dan kepercayaannya yang diekspresikan ke dalam sebuah karya sastra. Karya sastra mampu memberikan kesadaran dan pengalaman batin bagi pembacanya.
Menurut Sumardjo dan Saini (1991:10), pengalaman manusia merupakan akumulasi yang utuh karena meliputi kegiatan pikiran, nalar, kegiatan perasaan, dan khayal. Kenyataan adalah sesuatu yang dapat merangsang atau menyentuh kesadaran manusia, baik yang ada dalam dirinya, maupun yang ada di luar dirinya.
Hal ini juga dialami BH. Riyanto. Penulis yang tinggal di Pamekasan ini masih eksis menuangkan gagasannya ke dalam sejumlah puisi. Kendati genre sastra yang satu ini kurang mendapat apresiasi dari masyarakat, sosok BH. Riyanto tidak mempersoalkannya.
Antologi puisi tunggalnya berjudul Pesan Pendek dari Tuhan ini merupakan wujud kegelisahannya yang melanda batinnya. Puisi-puisi yang terangkum dalam antologi ini berisi pesan tentang maut dan dzikir.
Sebagaimana dimaklumi, maut atau kematian merupakan sesuatu yang pasti menimpa manusia. Kematian seringkali menjadi sesuatu yang menakutkan. Ada beberapa orang yang merasakan death instinct atau firasat kematian. Firasat itu dirasakan sanak-keluarga setelah yang bersangkutan mengalami ajal.
Sebenarnya, firasat itu tidak akan menyelesaikan rasa takut melawan maut. BH. Riyanto mengajukan solusi cerdas melawan rasa takut tersebut. Pada puisi berjudul Isak Hati, ia ingin mengajak pembaca agar bertaubat kepada Tuhan: Dalam larut pelan gulita malam/ diri menyatu ikhlas sungguh/ di atas lembar sajadah/ hati berisak tobat/ kepasrahan jiwa dalam berserah// (hal. 2).
Tobat sebenarnya upaya mempersiapkan diri menuju kematian. Seseorang yang terbebas dari beban dosa, menghadapi kematian tentu terasa lebih menyenangkan. Sebab, ia akan melihat tempatnya di syurga sebagai hadiah dari Tuhan.
Pada puisi berjudul Hatiku yang Pasrah, BH. Riyanto masih menyuguhkan nilai-nilai relegius ; Dari sujud-sujud yang panjang/ air mata jiwa memuara/ di lembar sajadah khusuk// (hal. 5). Sebagaimana puisi pertama, puisi ini masih berkutat seputar ibadah kepada sang khalik. Penyair ingin menggambarkan pengabdiannya yang tulus dan khusuk.  Teks puisi ini akan mengantarkan pembaca pada kedalaman makna yang terkandung dalam setiap baitnya.
Sebagai makhluk sosial, seorang penyair akan merasakan ketimpangan sosial yang terjadi di sekitarnya. Insting kepenyairannya semakin terasah. Segala problematikn kehidupan lebih mudah menyentuh perasaannya. Musibah yang melanda bangsa ini bukan sekedar peristiwa secara an sich, tetapi ada musabab yang menyebabkannya terjadi.
Banjir, tanah lonsor, gempa bumi, puting beliung, dan peristiwa lainnya merupakan peringatan yang disampaikan Tuhan kepada hamba-Nya. Semua peristiwa itu terjadi karena ulah tangan manusia. Peristiwa ini pun sempat direkam BH. Riyanto dalam sebuah puisinya berjudul Kiamat; Begitu banyak pengrusakan di sana-sini// dunia dan kehidupan manusia/ aku bertanya;/ benarkah ini jaman akhir?// (hal. 23).
Sebuah pertanyaan retoris dan tidak membutuhkan sebuah jawaban. Peradaban moderen menyeret manusia semakin menjauh dari norma hukum dan norma agama. Pelbagai pelanggaran hukum terjadi. Supremasi hukum dinilai memihak kepada orang yang berduit. Maling kampung yang mencuri seekor ayam harus mendekam di balik jeruji besi. Sedangkan koruptor kelas kakap harus melewati beberapa kali persidangan, yang akhirnya akan divonis ‘tidak terbukti’.
Ada satu penekanan yang ingin disampaikan penyair melalui buku ini. Semua yang bernyawa akan berhadapan dengan maut. Hal ini terungkap dalam sebuah puisi yang dijadikan judul buku ini Pesan Pendek dari Tuhan. Semua akan mati/ pasti!// (hal. 45).
Manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Keyakinan ini akan memengaruhi terhadap pola berinteraksi secara vertikal dan secara horizontal. Ada rambu-rambu yang harus diikuti. Juga ada aturan yang harus dijadikan pedoman hidup. Maka, pola berinteraksi antarsesama akan menimbulkan makna ibadah dihadapan Tuhan. Inilah hakikat dizkir yang sesungguhnya.
Puisi-puisi yang terangkum dalam buku ini merupakan kumpulan puisi yang ditulis penyair sejak 1991 hingga 2010. Ini menunjukkan keseriusan dan ketekunan penyair mengabadikan setiap perasaan yang menggelayuti batinnya. Sebagaimana diakui penulis buku ini dalam sebuah pengantarnya bahwa Pesan Pendek dari Tuhan ini merupakan serangkuman kegelisahan, dzikir, dan bukti ketidakberdayaan di hadapan Tuhan.

Diresensi Suhairi Rachmad, Alumnus Fakultas Sastra Universitas Jember. Kini bekerja sebagai Guru Madrasah Aliyah Mambaul Ulum Ganding Sumenep.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi