BERDAMAI DENGAN KEMATIAN
BERDAMAI DENGAN KEMATIAN
Oleh Suhairi Rachmad*
Judul Buku : Psikologi
Kematian 2
Penulis : Komaruddin Hidayat
Penerbit : Naora Books
Cetakan : Pertama, Januari 2013
Tebal : xxiv + 214 halaman
ISBN : 978-602-9498-87-5
Kematian seringkali
menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang. Ketiadaan nyawa dalam organisme
biologis ini pasti dialami oleh
siapa pun; baik yang tua maupun yang muda. Bila ajal telah tiba, tak seorang
pun bisa menundanya walaupun hanya sesaat. Sebaliknya, kematian tidak akan hadir
lebih awal dari takdir yang ditentukan.
Kematian merupakan rahasia sang pencipta. Buku Psikologi Kematian 2 ini menuntun kita agar berdamai dengan
kematian dengan cara mempersiapkan bekal semasa hidup. Kekurangan bekal
menghadapi ajal menjadi salah satu penyebab manusia takut menghadapi mati. Kematian
dianggap sesuatu yang sangat mengerikan. Jika amal kebaikan yang dijadikan
bekal menghadapi maut dilakukan dengan optimal, maut yang semula terkesan
mengerikan bisa berubah menjadi sesuatu yang dirindukan.
Kematian sesungguhnya adalah realisasi-puncak kerinduan primordial anak
manusia untuk kembali ke asalnya (hal. xvi). Untuk menanamkan kerinduan dalam
diri manusia dibutuhkan persiapan-persiapan menghadapi kematian. Jika bekal
yang ingin kita bawa menuju ajal telah siap, secara otomatis akan muncul
kerinduan bertemu dengan sang Pencipta.
Proses mengenal sang pencipta inilah yang sulit diwujudkan dalam diri kita.
Proses ini memiliki cakupan yang sangat luas. Bukan sekedar ketika menghadapi
diri sendiri, berkomunikasi dengan orang lain pun bisa dijadikan proses
mengenal Tuhan.
Kesaksian dan pengetahuan tentang Tuhan terasa dangkal kalau hanya ditandai
dengan sebuah ikrar, tanpa didasari dengan ilmu pengetahuan dan pengamalan
beragama. Kesaksian tentang keesaan dan Keagungan Tuhan tentu terasa lebih mantap
kalau seseorang mampu menghayati betapa kecilnya manusia di tengah semesta dan
di hadapan Tuhannya (hal. 69).
Kenikmatan dunia yang bersifat fisikal tidak akan menggeser kenikmatan
moral-spiritual yang kualitasnya jauh lebih tinggi. Imbalan amal perbuatan
kadang ditampakkan kepada manusia menjelang ajal. Barangkali, kita pernah
melihat seseorang yang tersenyum ketika rohnya mulai dijemput oleh malaikat maut.
Orang tersebut bisa saja telah melihat nikmatnya imbalan ibadah yang akan
dijadikan tempat di akhirat.
Kendati kematian merupakan sebuah misteri, Tuhan kadang menurunkan firasat
kepada orang-orang terdekatnya. Melalui buku ini, Komaruddin Hidayat menyebutnya
sebagai death instinct atau firasat
kematian (hal. 130). Firasat tersebut jarang disadari oleh yang bersangkutan
atau oleh sanak-kerabat. Hal tersebut baru dirasakan sebagai death instinct ketika ajal telah
menjemput orang yang dimaksud.
Sesuatu yang perlu diperhatikan bukan bagaimana menemukan death instinct menjelang ajal, tetapi
bagaimana menyiapkan bekal sebelum ajal tiba. Orang bijak mengatakan: Orang akan mengetam apa yang ditanam.
Sekecil apapun amal saleh semasa hidup akan mendapat imbalan setimpal.
Sebaliknya, dosa kecil yang diperbuat selama hidup akan dicatat oleh malaikat.
Bagaimana menyiapkan bekal menghadapi maut? Komaruddin Hidayat menekankan
adanya investasi amal saleh. Menurutnya, investasi paling esensial adalah
investasi amal saleh yang mendatangkan manfaat bagi diri, keluarga, dan
masyarakat (hal. 173). Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang
bermanfaat bagi orang lain?
Ajaran agama menyatakan bahwa bagi orang beriman yang banyak melakukan amal
saleh, kematian itu hanyalah suatu proses metamorfosis untuk memasuki kehidupan
yang kualitasnya lebih tinggi. Secara logika, tak seorang pun mampu mengelak
dan berkelit untuk memasuki gate of
mortality. Jika saatnya tiba, semua mesti masuk pesawat kamatian untuk
meneruskan perjalanan sebagai makhluk.
Kematian hendaknya bukan dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan.
Kematian adalah penyemangat untuk melaksanakan aktivitas yang bernilai ibadah.
Tidak ada pekerjaan yang terlepas dari pantauan Tuhan. Semuanya akan tercatat
rapi dan akan dimintai pertanggungjawaban. Inilah yang harus menjadi catatan
penting bagi manusia.
Sebagaimana tercantum dalam testimoni buku ini, buku setebal 214 halaman
ini mengajak kita untuk menjadikan kematian sebagai pendorong munculnya
optimisme. Bila ketakutan diganti dengan optimisme, kematian bukan menjadi
sesuatu yang menakutkan. Kematian akan hadir sebagai sesuatu yang dirindukan.
*Suhairi
Rachmad,
Alumnus Universitas Jember (Unej), tinggal di Sumenep Madura.
Komentar
Posting Komentar