Tak Ada Stres dalam Jiwa yang Tenang


Judul Buku    : Diary Jiwa: Catatan Menuju Jiwa
                         yang Tenang
Penulis           : Jee Luvina
Penerbit         : Pastel Books
Cetakan         : I, Agustus 2017
Tebal             : XVI + 166 halaman
ISBN             : 978-602-6716-07-1

Ketenangan jiwa tidak bisa diukur dengan materi yang melimpah dan relasi bisnis yang banyak. Ketenangan jiwa erat kaitannya dengan proses mengolah emosi dalam situasi dan kondisi apapun. Tidak sedikit orang yang memiliki harta melimpah tetapi jiwanya merasa gelisah. Tidak sedikit orang yang memiliki relasi bisnis yang baik tetapi lupa membahagiakan dirinya sendiri.
Setiap orang berusaha meraih ketenangan jiwa, walaupun tak sedikit yang gagal di tengah jalan. Ketenangan jiwa terkadang serupa air laut yang pasang suru atau timbul tenggelam Buku Diary Jiwa: Catatan Menuju Jiwa yang Tenang kiranya bisa dijadikan panduan agar pembaca kembali menelaah diri, menata diri dan memperbaiki diri untuk meraih ketenangan jiwa.
Penulis buku ini memberi gambaran terkait dengan jiwa. Menurutnya, jiwa merupakan ruang bagi perasaan-perasaan yang sebenarnya terlindung oleh yang memilikinya. Sayangnya, manusia tidak cukup kuat untuk benar-benar melindunginya. Karena manusia bukan pemilik sebenarnya. Manusia sering lupa akan hal itu. Justru, karena bukan pemilik sebenarnya dari jiwa ini, maka manusialah yang harus benar-benar menjaganya agar nanti manusia lebih mudah untuk mempertanggungjawabkan jiwa tersebut (hal. 9).
Tuhan Yang Maha Esa merupakan zat yang maha mengelola jiwa. Dialah pemilik yang sebenarnya. Tuhanlah yang mampu memberikan ketenangan dan kegelisahan pada jiwa tersebut. Tetapi, manusia harus merawat dan menjaganya agar terhindar dari hal-hal yang merusaknya. Jika manusia tidak bisa merawat dan menjaga jiwa, hal ini akan berdampak buruk bagi ketenangan jiwa tersebut.
Jiwa bersifat abstrak. Cara menjaganya tidak sama dengan cara menjaga sesuatu yang tampak dari penglihatan manusia. Akan tetapi, kondisi kejiwaan manusia bisa diketahui dari perilakunya. Kondisi jiwa yang tenang akan menampakkan tingkah laku yang baik. Sedangkan kondisi kejiwaan yang tidak stabil akan berdampak pada tingkah laku yang kurang baik pula.
Setiap manusia bisa berbeda dalam cara mengelola kejiwaannya. Ini bergantung dari ilmu dan pengetahuan setiap individu. Penulis buku ini mengutip perkataan Emha Ainun Najib, apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah. Apa gunanya kepandaian kalau tidak memperbesar kepribdian seseorang sehingga ia makin sanggup memahami orang lain.
Seseorang yang mampu mengelola kejiwaannya dengan baik akan merasa lapang dada dalam menghadapi berbagai masalah. Masalah-masalah yang dirasakan akan menjadi sesuatu yang kecil dan tidak akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Ia tidak akan lari dari masalah, tetapi akan menghadapinya dengan tenang seraya mencari langkah solutif.
Masalah memang harus dihadapi. Sebab, lari dari masalah tidak akan menyelesaikan masalah itu sendiri. Lari dari masalah juga tidak mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan hidup. Menurut Zakiyah Darajat, ahli kesehatan jiwa mengungkapkan bahwa sebenarnya yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah kesehatan mental. Kesehatan mental itulah yang akan menentukan tanggapan kita terhadap suatu persoalan dan kemampuan kita dalam menyesuaikan diri (hal. 131).
Zakiyah Darajat melanjutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut, yaitu tekanan perasaan, konflik, dan kecemasan. Tekanan perasaan bisa menyebabkan seseorang merasa ada hambatan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Sedangkan konflik jiwa merupakan dua dorongan yang berlawanan satu sama lain dan tidak bisa dipenuhi dalam waktu sama.
Adapun kecemasan memang tidak terlihat. Kecemasan merupakan proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika seseorang sedang mengalami tekanan perasaan dan konflik jiwa. Seseorang biasanya merasa cemas jika keadaannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maka, muncullah sebuah kecemasan yang juga mengganggu perasaannya.
Sungguh, buku ini memiliki gizi yang padat terkait upaya seseorang untuk mencari ketenangan jiwa. Membaca buku ini menyadarkan pembaca bahwa kunci ketenangan jiwa dan ketenteraman batin bukan terletak pada seberapa banyak harta yang dimiliki, tetapi seberapa besar kemampuan seseorang mengelola kejiwaannya. Buku ini hadir untuk mengendalikan rasa stres yang berkepanjangan.  
*Tulisan ini dimuat di Kabar Madura, 15 Agustus 2018
**Suhairi adalah Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi