Bekerja untuk Kesalehan Sosial
Judul Buku : Memaknai Kerja di Bank Syariah
Penulis : Yuslam Fauzi
Penerbit : Mizan,
Bandung
Cetakan : I, Oktober 2017
Tebal :
280 halaman
ISBN :
978-979-433-682-3
Buku Memaknai
Kerja di Bank Syariah karya Yuslam Fauzi ini merupakan sebuah paparan yang menjelaskan
bagaimana pentingnya bekerja dan menjalani aktivitas yang memiliki dampak positif
kepada masyarakat. Bekerja bukan sekadar aktivitas duniawi, apalagi hanya untuk
kepentingan pribadi semata. Buku ini menekankan adanya usaha untuk
mensejahterakan masyarakat.
Munculnya buku ini didasari atas fenomena umat Islam (baca: masyarakat) yang mengalami ketertinggalan.
Dalam catatan Yuslam, kita hidup dalam masa ketika dunia Islam sedang mengalami
ketertinggalan peradaban yang sangat jauh. Pada semua dimensi peradaban, kita
tercecer:
ilmu pengetahuan, ekonomi, moral, sosial,
teknologi, budaya, politik, dan sebagainya.
Abu Al-Hasan Al-Nadawi, seorang intelektual Muslim India, dalam bukunya
Madza Khasiral ‘Alam Bi Inhithat Al-Muslimin sampai menggunakan istilah
“kebangkrutan” untuk menggambarkan kemunduran umat Islam sekarang ini. Padahal,
sejak di ujung abad XIV Hijriyah, kita telah mencanangkan bahwa abad XV
Hijriyah akan dan harus menjadi abad kebangkitan kembali peradaban umat Islam.
Sekarang, sudah hampir empat puluh tahun kita berada di abad XV Hijriyah, kita
belum menyaksikan tanda-tanda kebangkitan itu. Dalam berbagai dimensi peradaban,
kita justru tercecer (hal. 15).
Fenomena tersebut sungguh
sangat mengenaskan. Padahal, kita pernah
mengalami masa kejayaan yang dirasakan seluruh umat. Kejayaan tersebut perlu
kita rebut kembali agar kualitas hidup menjadi semakin meningkat:
baik secara hubungan vertikal dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun hubungan antarsesama makhluk.
Dengan kata lain, Yuslam tidak sedang mengarahkan pembaca untuk
menikmati hasil kerja secara pribadi, tetapi bagaimana hasil kerja tersebut
dinikmati oleh orang lain. Dalam hal ini, Yuslam juga mengorientasikan kehidupannya
pada kesalehan sosial, disamping kesalehan spiritual. Ini adalah dua hal yang
harus berjalan secara bersama-sama, tanpa ada yang dikesampingkan.
Menurutnya, fungsi ibadah ritual sebagai pengingat akan orientasi hidup
manusia di catwalk kehidupan ini dapat dianalogikan sebagai pengingat
seorang pegawai untuk sesekali menghadap kepada atasannya. Seorang pegawai yang
terdisorientasi dari status kepegawaiannya adalah pegawai yang selalu menghadap
kepada atasannya ketika diminta meskipun ia sedang sibuk dalam pekerjaannya.
Selain berfungsi sebagai pengawal orientasi hidup, ibadah ritual juga
dikerjakan agar manusia menjadi pribadi yang saleh secara sosial. Jadi, ibadah
ritual bukan tujuan, tapi sarana yang akan mengawal dan mengarahkan kita pada
orientasi yang benar (hal. 86). Sehingga, ibadah ritual akan menggiring kita pada
kesalehan sosial.
Sebagai sorang bankir,
Yuslam mengutamakan cara-cara syariah yang manfaatnya kembali kepada masyarakat. Menurutnya, dalam konteks
mengembangkan sistem keuangan syariah yang keindonesiaan, ia mendorong kalangan
intelektual muda perbankan syariah untuk memikirkan bagian-bagian mana dari
doktrin-doktrin dan teks-teks keagamaan yang harus direkonstruksi,
direaktualisasi, dan dikontekstualisasikan. Sehingga, doktrin-doktrin dan
teks-teks itu ‘membumi’ dengan kondisi perbankan dan keuangan syariah di
Indonesia, pada masa kini dan masa depan (hal. 232).
Kiranya, buku ini sangat
cocok untuk dijadikan bahan bacaan terkait maraknya perbankan yang mengkalim telah melakukan
transaksi sesuai prosedur syariah. Bahkan, penulis mengaku siap untuk membahas
teks-teks terkait dengan perkembangan kondisi saat ini. Dengan harapan, kita
bekerja tidak sekadar berorientasi pada kesalehan ritual, tetapi bermuara pada
kesalehan sosial.
*Tulisan ini dimuat di Kabar Madura, 07 Juni 2018
**Suhairi adalah Dosen Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Madura
Komentar
Posting Komentar