POTRET BUDAYA LOKAL DALAM 12 MENIT



Oleh Suhairi Rachmad*

Judul Buku             : 12 Menit

Penulis        : Oka Aurora

Penerbit      : Noura Books

Cetakan      : Pertama, Mei 2013

Tebal           : xiv + 348 halaman

ISBN          : 978-602-7816-33-6



Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Karya sastra tidak sekedar lahir atas nama karya secara an-sich. Karya sastra merupakan rekam jejak penulisnya terhadap budaya masyarakat yang ada di sekitarnya. Menurut Heru S.P. Saputra (2007: 1), realitas empiris menunjukkan bahwa sastra, baik sastra lisan maupun sastra tulis, merupakan salah satu bentuk ekspresi estetis yang sarat dengan muatan budaya.

Novel 12 Menit karya Oka Aurora ini juga menyajikan unsur-unsur budaya lokal masyarakat Bontang, Kalimantan Timur. Sebenarnya, tema utama novel ini tentang perjuangan Marching Band Bontang Pupuk Kaltim untuk meraih impiannya menjadi juara dalam Grand Prix Marching Band (GPMB) di Jakarta. Ternyata, ada sisi lain yang cukup menarik dibahas dalam ulasan ini.

Salah satu sisi menarik dalam novel ini adalah kepercayaan masyarakat Bontang, Kalimantan Timur terhadap kekuatan magis. Kendati zaman semakin moderen, keyakinan tersebut masih melekat pada sebagian masyarakat Bontang. Ketika ayah Lahang sakit, misalnya, cara penyembuhan yang digunakan melalui pemeliatn.

Upacara penyembuhan terhadap ayah Lahang yaitu dengan cara mendatangkan beberapa orang yang dianggap memiliki aura supranatural. Mereka didaulat untuk menarikan doa-doa penyembuhan. Pemimpin upacara ini disebut Pemeliatn, yaitu pemuka agama yang telah terbukti mampu menjadi perantara dunia manusia dan dunia roh.

Ayah Lahang memuntahkan sesuatu ke sebuah tempat yang disediakan oleh Pemeliatn. Darah yang gelap dan pekat. Kekuatan penyembuhan atau penghapusan karma dipercaya bersumber dari roh nenek moyang. Jadi, hanya orang-orang yang dipercaya para roh saja yang bisa berkomunikasi dengan mereka. Itu fungsi Pemeliatn.

 Bagaimana persepsi masyarakat Bontang terhadap penyakit yang diderita ayah Lahang? Ada yang bilang, sebagian roh isteri yang mangkat lebih dulu masih tersangkut, mengikuti ke mana pun dia pergi. Ada juga yang curiga penyakitnya ini adalah karma isterinya yang belum selesai (hal. 97). Jadi, kepercayaan masyarakat Bontang, Kalimantan Timur, terhadap kekuatan magis masih sangat kuat.

Selain kepercayaan terhadap kekuatan magis, unsur budaya lokal yang terdapat dalam novel ini adalah Tari Hudoq. Tari ini merupakan ritual masyarakat Bontang untuk persiapan masa tanam. Di atas lapangan pasir yang luas membentang di depan puluhan rumah panggung milik penduduk, ratusan orang berkumpul, membentuk sebuah lingkaran yang sangat besar. Di dalam lingkaran itu sedang terjadi atraksi (ritual) tradisional, di mana para penarinya mengenakan kostum yang terbuat dari daun kelapa menutup seluruh tubuh mereka. Para penari ini juga memakai topeng kayu berbentuk wajah burung (hal. 181).

Ritual tersebut masih berlaku di masyarakat Bontang, Kalimantan Timur. Bukan sekedar proses ritualnya yang unik, pakaian yang digunakan juga merupakan ciri khas masyarakat Bontang di saat melakukan upacara tersebut. Bahkan, para penarinya menggunakan topeng. Entah, apa makna dari itu semua. Penulis tidak menjelaskan satu persatu terkait simbol-simbol yang berlaku pada masyarakat Bontang. Yang jelas, hal tersebut merupakan budaya masyarakat Bontang, Kalimantan Timur, dan belum tentu dimiliki daerah lain.

Masyarakat Bontang ternyata juga meyakini adanya kekuatan ghaib pada jimat. Ini diketahui ketika rombongan Marching Band Bontang Pupuk Kaltim ketika berangkat menuju Jakarta dengan pesawat terbang. Perhatikan percakapan berikut ini  :

Seorang ibu mencetus iseng,”Kenapa nggak dimasukin plastik saja, sih, Bu?”

Seorang ibu yang lain menimpali,”Mungkin rantangnya rantang jimat. Biar anaknya menang.”

“Lho, kan, plastiknya bisa dimasukkan ke rantang.”

“Mungkin kalau pakai plastik, jimatnya hilang.”

Ibu pembawa rantang tadi makin masam (hal. 288).

Sebagian masyarakat Indonesia masih mempercayai jimat memiliki kekuatan ghaib. Ini lumrah terjadi ketika masyarakat akan mengikuti sebuah kompetisi. Ternyata, masyarakat Bontang, Kalimantan Timur juga mempercayai hal tersebut. Ketika hendak bertanding Grand Prix Marching Band (GPMB) di Jakarta, salah satu peserta atau orang tua dari peserta itu membawa jimat.

Dalam pertandingan tersebut, Marching Band Bontang Pupuk Kaltim memenangi juara satu. Ini terlepas dari budaya masyarakat Bontang dengan pelbagai pemikiran dan kepercayaannya terhadap kekuatan magis. Kalau dibaca secara seksama, anggota Marching Band Bontang Pupuk Kaltim ini memiliki semangat yang luar biasa. Mereka harus berlatih ribuan jam untuk tampil selama  12 Menit. Rene, pelatih Marching Band tersebut, terkenal keras kepala dan tegas terhadap setiap anggotanya.

Dalam tulisan ini, sengaja saya tidak mengulas Rene, Elaine, maupun Tara, sebagai tokoh yang sering muncul dalam novel ini. Rene, Elaine, dan Tara merupakan penduduk pendatang di Bontang, Kalimantan Timur. Jadi maklum, Oka Aurora dalam menulis novel ini tidak menunjukkan budaya lokal Bontang melekat pada tokoh-tokoh tersebut.

Hanya saja, Oka Aurora kurang cermat dalam menulis novel 12 Menit ini. Sebab, menulis novel tidak sama dengan menulis skenario film. Tokoh yang terlibat terlalu banyak. Bahkan, terdapat tokoh yang hanya tampil beberapa kali dari awal hingga akhir cerita. Seharusnya, Oka Aurora mengabaikan tokoh tersebut agar tidak mengganggu keindahan alur cerita yang dibangun.



*Suhairi Rachmad, Alumnus Universitas Jember (Unej) dan mantan Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Jember. Kini bekerja sebagai Guru Madrasah Aliyah Mambaul Ulum Ganding Sumenep.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi