Kain Kafan Pejuang


”Jika kelak aku mati, bungkuslah aku dengan kain kafan warna merah!” Begitulah Martopo berwasiat kepada anak-anaknya, setelah beberapa bulan yang lalu istrinya meninggal dunia. Anak-anak Martopo tak banyak  bertanya. Ketika ajal berada di ambang pintu rumah Martopo, satu di antara anak-anaknya langsung menyiapkan kain kafan warna merah.
Dulunya, Martopo adalah lelaki gagah perkasa. Penampilannya selalu rapi. Kedisiplinannya sebagai generasi bangsa, membuatnya terpanggil untuk membebaskan negeri ini dari penjajah. Ia selalu berada di garis paling depan. Sambil memanggul senjata, perjuangannya untuk menumpas kaum penjajah merupakan tekad yang bulat. Tak boleh ditawar. Apalagi ditukar dengan sebuah materi. Ia bukan pengecut yang berlindung dibalik kata ’pejuang negeri’.
”Jika aku berhasil mengusir penjajah dari negeri ini, aku akan mempersunting dirimu,” Kata Martopo kepada Astinah, perempuan asal Klaten Jawa Tengah, yang bekerja di dapur umum. Diam-diam Astinah menaruh hati kepada Martopo. Ia selalu memasak tiwul, makanan istimewa pada masa penjajah dulu. Masakan inilah yang menjadi pemompa gairah Martopo mengusir penjajah dari negeri ini. Apalagi, masakan ini diracik oleh ’calon istri’ yang akan mendampingi Martopo hingga akhir hayat.
Suatu waktu, di kala daun ilalang berdzikir seperti menyenandungkan talbiyah cinta, Martopo menatap kaki langit senja. Awan kemerah-merahan yang melengkung seperti garis pelangi, melukis warna-warni kehidupan. Inilah kebiasaan Martopo di kala rasa galau dan putus asa menyerang perasaannya. Rasanya, ia tak mungkin mengusir penjajah dari negeri ini. Apalah artinya mengusir mereka? Bukankah lebih baik kita takluk dan menyerah di kaki mereka? Bisik Martopo, waktu itu. Namun, aneka warna awan senja itu, seperti seorang suhu yang menerangkan warna kehidupan. Martopo pun bangkit dari tempat duduknya, diikuti bangkitnya rasa semangat yang nyaris pupus.
”Jika aku gagal mengusir penjajah dari negeri ini, berarti aku gagal mempersunting dirimu, Astinah,” Martopo mendekati Astinah yang sedang menyiapkan bekal makanan untuk esok hari.
”Ah, jangan berkata seperti itu, Kang. Bukankah hidup ini adalah perjuangan. Jangan pernah berputus asa!” Astinah memberi semangat.
”Kalau terpaksa kita menyerah, apa yang harus kita lakukan?”
”Aku yakin, semangat perjuangan Kakang akan mampu mengusir penjajah dari negeri ini.”
Kata-kata Astinah mengalirkan semangat yang luar biasa. Di kala burung-burung memulai siulnya di pagi hari, Martopo kembali menyimpan semangat sebagai pejuang bangsa, seperti timbulnya semangat pada awal-awal ia berjuang melawan para penjajah. Ia pun bangkit. Memanggul senjata. Mengobarkan semangat. Mengorbankan keringat dan darah. Dan mempertaruhkan nyawa. Untuk sebuah negeri, dan untuk seorang perempuan bernama Astinah.
Itulah peran Martopo dan Astinah dalam ikut andil memerdekakan bangsa ini dari kaum penjajah. Setelah pernikahannya itu, Martopo menempati kompleks rumah pejuang hingga memiliki tiga orang anak. Namun akhir-akhir ini, Martopo harus puas menerima putusan bahwa kompleks itu akan digusur. Martopo tak mengerti, alasan apa yang menyebabkan ia dan keluarganya harus angkat kaki dari kompleks tersebut yang selama ini menjadi syurga setelah berperang melawan penjajah.
”Mengapa harus digusur? Bukankah ini adalah tempat kami yang telah berpuluh-puluh tahun kami tempati sebagai hadiah bagi pejuang kemerdekaan negeri?” dengan suara patah-patah, Martopo membela diri.
”Kami hanya menjalankan tugas sebagai tim eksekutor,” kata salah satu di antara petugas.
”Kami tidak mau pergi dari tempat ini. Lebih baik kami mati berkalang tanah daripada berperang melawan bangsa sendiri,”Martopo melanjutkan kata-katanya, persis seperti ketika memekikkan semangat juang ketika memanggul senjata dulu. Dan inilah yang menyebabkan tim eksekutor mundur secara teratur. Namun, ini bukan berarti jalan damai yang ditawarkan tim eksekutor. Martopo hanya diberi waktu satu minggu untuk mengosongkan rumahnya. Kondisi ini membuat Astinah jatuh sakit. Apalagi, penyakit jantung yang dideritanya akhir-akhir ini, membuat Astinah terkulai lemas di atas dipan usang.
Sebelum pelaksanaan eksekusi rumah dilakukan, Astinah menutup kisah perjuangan hidupnya melawan Martopo. Sebagai seorang perempuan yang sempat bekerja di dapur umum, Astinah ingin dimakamkan di taman makam pahlawan. Namun Martopo menolak. Menurutnya, perlakuan sebagai seorang pahlawan bukan terletak pada di mana ia dikubur, tapi sejauh mana perjuangannya dikenang untuk memberikan semangat pada generasi muda, untuk melanjutkan perjuangan, tentunya.
Astinah mungkin hanya menyaksikan dari dalam kubur eksekusi kompleks rumah pejuang yang dilakukan beberapa hari setelah Astinah disemayamkan. Ia mungkin hanya mengusap dada ketika menyaksikan Martopo dan ketiga anaknya lari tunggang langgang dikejar-kejar petugas. Kasur, sofa, lemari, kursi, dan perabot rumah tangga lainnya tergeletak berantakan di pinggir jalan, tak jauh dari kompleks itu. Jalan satu-satunya, Martopo dan keluarganya hanya bisa numpang di rumah adik Martopo, yang rumahnya sekitar dua kilo dari kompleks itu.
”Saya kan sudah bilang, tinggal di rumah ini tidak apa-apa untuk sementara waktu. Laki-lakinya tidur di kamar sebelah barat, sedangkan perempuannya istirahat di kamar sebelah timur,” Suparto menyambut baik keluarga kakak kandungnya itu.
”Tapi kan saya tidak enak, Dik. Apalagi membawa tiga orang anak. Ini cukup merepotkan di sini.”
”Ah, Kakak tak usah memikirkan hal yang bukan-bukan. Nanti kita cari kontrakan yang tak jauh dari daerah ini. Selain murah, kita mudah berkomunikasi.”
Di saat Martopo baru menikmati kehidupannya di rumah kontrakannya yang baru, tiba-tiba ia jatuh sakit. Rasa capek setelah dikejar-kejar petugas dan memindahkan perabot rumah tangga, rupanya-rupanya berdampak pada kesehatannya. Mungkin tekanan batin yang mendera batinnya setelah ada kabar kompleks rumah pejuang akan digusur, menjadi penyebab utama dirinya terkulai lemas.
Sambil batuk-batuk, Martopo berusaha duduk di sebuah kursi, di beranda samping. Ia ingin menyaksikan hamparan padi menguning yang terbentang di samping rumahnya. Ia juga ingin menyaksikan anak-anak berlari-lari kecil berseragam merah-putih pulang dari sekolah. Sejauh mata memandang, ia juga melihat cerobong pabrik yang  menerbangkan segumpal awan hitam menembus langit biru. Batin Martopo berbisik, andai tak ada perjuangan melawan penjajah, mungkin aku tak bisa melihat indahnya bangsa melalui beranda rumah yang sangat sederhana ini.
Anak-anak Martopo terlihat bingung dengan kondisi ayahnya. Mereka tak memiliki cukup uang untuk menyembuhkan mantan pejuang ini. Martopo memang pengertian. Ia tak mau merepotkan anak-anaknya. Ia seperti mengerti bahwa ajal tak kan lama menjemputnya. Toh tak ada gunanya mengobati penyakit tua yang kini dideritanya.
Martopo hanya berwasiat, jika kelak ia meninggal dunia, ia minta dibungkus dengan kain kafan warna merah. Tentu ini wasiat yang tak merepotkan bagi anak-anaknya. Sebelum ajal menjemput Martopo, anak-anaknya sudak menyiapkan kain yang dimaksud. Ini memang permintaan yang agak janggal dan aneh. Tentu ini berbeda dengan Astinah, istri Martopo. Ketika dikubur, Astinah dibungkus kain kafan warna putih, sebagaimana kain kafan pembungkus jenazah pada umumnya.
Sebelum azan subuh berkumandang dari musolla sebelah, Martopo menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kain kafan warna merah kini telah dipersiapkan untuk mengantarkan sang ayah ke liang lahat. Entah karena apa, kabar meninggalnya mantan pejuang ini cepat tersebar ke seluruh pelosok negeri. Bahkan, sejumlah instansi dan lembaga pemerintah mengirimkan karangan bunga sebagai rasa bela sungkawa. Anak-anak Martopo merasa heran dengan kejadian ini. Sebab, ayahnya hanyalah orang biasa yang kebetulan ikut berjuang melawan penjajah. ”Mungkin, kain kafan warna merah ini ikut mengabarkan kepergian ayah.”
Jasad Martopo dibaringkan di sebelah kanan Astinah, Istrinya. Sebagaimana Astinah, Martopo diusulkan agar dikubur di taman makam pahlawan. Namun, anak-anak Martopo menolaknya. Jasad ayahnya harus berdampingan dengan jasad ibunya, yang kini dimakamkan sekitar tiga kilo dari rumah Martopo. Sebab, mereka adalah sama-sama pejuang yang ikut memerdekakan negeri ini. Mereka selalu mendidik anak-anaknya hidup sederhana dan menghormati orang lain.  Perbedaannya hanya satu, jika jenazah Astinah dibungkus kain kafan warna putih, sedangkan jenazah Martopo kini dibungkus kain kafan warna merah, sesuai wasiat sebelum meninggal dunia.
Matahari semakin menaiki langit biru. Kendati alam sedang berduka, namun tak ada mendung di langit sana. Mungkin inilah perasaan Martopo bersama Astinah kali ini. Mereka akan bersama-sama pergi menuju syurga, sebagai imbalan perjuangannya dulu.
Anehnya, area kuburan itu dipenuhi lautan pelayat. Anak-anak Martopo merasa heran. Bahkan, mereka mengucek-ngucek kedua belah matanya karena tak percaya terhadap apa yang sedang terjadi. Dibenaknya berkata, mungkin mereka adalah para jin dan malaikat yang diutus Tuhan untuk ikut berbela sungkawa. Tidak! Mereka bukan jin. Bukan pula malaikat. Anak-anak Martopo mengenal betul sebagian pelayat yang memenuhi area kuburan; mulai dari tetangga dekat, kepala desa, pak camat, pak bupati, kepala-kepala dinas, kepala-kepala bagian, pak gubernur, staf-staf gubernur, bahkan, mereka juga melihat presiden dan anggota dewan menghadiri prosesi pemakaman ini. Area tersebut bisa menampung hingga seratus ribu pelayat. Namun, tak satu pun di antara mereka yang ’menggugat’ kain kafan warna merah yang digunakan mantan pejuang ini.
Prosesi pemakaman memakan waktu yang cukup lama. Sebagian besar di antara mereka ingin membalas jasa walaupun hanya ikut menimbun segengganm tanah pada kubur Martopo. Para pelayat berdesakan. Ada yang maju. Dan ada yang mundur setelah ikut meletakkan segengam tanah pada liang lahat. Ini persis pemakaman seorang wali. Yang dihadiri oleh ratusan orang wali juga.
Prosesi pemakaman kini telah selesai. Namun, ratusan ribu pelayat ini belum beranjak dari area kuburan. Seperti koor, mereka kemudian saling tikam, saling jotos, saling sikat. Yang pak camat menginjak-injak bawahannya. Sedangkan bawahannya memukul tengkuk pak camat dari belakang. Bagitu juga pak gubernur, pak presiden, dan anggota dewan. Mereka saling sikat dan saling sikut hingga menimbulkan lautan darah. Mayat-mayat bergelimpangan. Harga diri manusia seperti tak memiliki nilai apa-apa. 
Anak-anak Martopo menghindar dan hanya menatap adegan ini dari arah yang aman. Salah satu di antara mereka berkata,”Merah-putih telah terkubur!” Sumenep, 05 Februari 2010

*Tulisan ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, Minggu, 22 Agustus 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi