Bercak Darah Terakhir


Setiap kali mencuci pakaian suaminya, Surtini selalu menemukan bercak darah. Dalam sebulan ini, sebanyak lima kali bercak darah menempel pada bagian pakaiannya; celana, baju, dan topi yang biasa dipakai suaminya ketika bepergian. ”Ini darah manusia, bukan darah binatang,” Surtini bergumam, seakan ia sengaja menyembunyikan hal ini.
Pada awalnya, Surtini menyangka bahwa suaminya terjatuh hingga berdarah. Ketika ia menanyakan kepada Parto, suaminya, Surtini tak menemukan jawaban yang memuaskan. Paling-paling, Parto hanya meletakkan telunjukknya pada bagian bibirnya. Surtini pun tak memperpanjang masalah temuan bercak darah ini.
Surtini baru ingat. Beberapa hari yang lalu, seorang tetangganya mati mengenaskan. Menurut berita yang beredar dari mulut ke mulut, mayat itu ditemukan tergeletak di atas pematang sawah. Tubuhnya nyaris rata dengan darah. Telinga kirinya hilang entah ke mana. Begitu juga bagian lidah dan bibirnya. Sedangkan kedua pahanya terpotong, namun tetap berada di dekat tubuh korban. Di sana, ada beberapa jejak kaki yang menunjukkan bahwa sempat terjadi pertarungan sengit antara korban dan pelaku pembunuhan. Diduga kuat, pelaku pembunuhan tidak hanya satu orang. Melainkan terdiri atas dua atau tiga orang.
Kali kedua, Surtini kembali menemukan bercak darah pada bagian baju suaminya. Surtini menanyakan secara terus terang apa yang telah terjadi. Namun, lagi-lagi Parto meletakkan telunjuknya pada bagian bibirnya. Kali ini Surtini kecewa. Ia khawatir suaminya telah melakukan hal yang tidak-tidak. Untuk memastikan kekhawatirannya, Surtini mendesak agar Parto menjawab pertanyaan yang melewati kedua belah bibir bunga desa itu.
”Kau menyangka aku telah membunuh seseorang?” Parto  menyampaikan pertanyaan, untuk menyangkal tuduhan isterinya..
”Ini bukan tuduhan, Mas. Tapi pertanyaan?”
”Tuduhan tidak harus berbentuk tuduhan. Kadang pertanyaan bisa memiliki arti tuduhan.”
Surtini terdiam. Ia tak memiliki jawaban yang tepat untuk mematahkan perkataan suaminya.  Kekhawatiran yang menggumpal dalam benaknya tak jua surut. Sudah dua kali di desa itu terjadi pembunuhan. Sedangkan pelakunya selalu berhasil lolos dan kabur. Sesaat setelah peristiwa itu terjadi, suaminya datang. Pada bagian pakaiannya selalu terdapat bercak darah. Ini yang menguatkan batin Surtini bahwa  suaminya adalah seorang pembunuh.
”Kau jangan menghubung-hubungkan pembunuhan itu dengan darah yang menempel di bajuku.”
”Aku tak pernah menghubungkannya, Mas. Tetapi yang aku tanyakan, mengapa adanya bercak darah itu selalu diawali adanya seseorang yang mati mengenaskan.”
”Ah, aku tak tahu itu. Soal mati adalah urusan Tuhan. Aku tak memiliki hak apa-apa.”
”Oke! Kalau begitu, mulai saat ini  Mas harus pulang tanpa meninggalkan bercak darah pada pakaian Mas?”
”Ya, aku mengerti maksudmu. Kemarin aku memang sempat terjatuh hingga beberapa kali. Jadi maklum, jika bercak darah yang menempel pada pakaianku tidak hanya terjadi satu kali.”
”Namun, jika hal serupa terjadi hingga beberapa kali, pasti ada yang tidak beres!”
”Sudahlah! Mau percaya mau tidak, terserah!. Yang penting, aku tidak melakukan seperti apa yang kau tuduhkan.”
”Kalau Mas memang jujur, aku minta bahwa bercak darah yang kemarin adalah bercak darah terakhir. Aku tak ingin ada kematian dan bercak darah pada bagian pakaian Mas .”
Awan pekat menggelayuti tubuh langit. Surtini merasa tersiksa. Gelisah Surtini adalah gelisah langit. Kebahagiannya juga kebahagiaan langit. Tidak heran, jika pagi ini awan seperti mengabarkan kepanikan pada penduduk desa itu. Inilah gelisah Surtini yang harus disembunyikan.
Surtini bukan tidak tahu bahwa Parto pernah tercatat sebagai penjahat kelas kakap. Ia dengan beberapa temannya pernah menjadi perampok yang beraksi antara Desa Manokan dan Desa Gilang. Setelah merampok, mereka mabuk-mabukan dan main perempuan. Bahkan akhir-akhir ini, ia juga berhasil memperdaya salah satu nasabah bank. Parto berhasil membobol ATM hinga puluhan juta rupiah.
Salah satu persyaratan awal menikah, Parto diminta insyaf dari kejahatan. Ini adalah kunci utama. Jika tidak, bisa dipastikan Parto tidak akan bisa mempersunting Surtini, gadis desa yang menjadi dambaan setiap lelaki. Dengan mudah Parto berjanji akan memenuhi persyaratan tersebut. Namun, pernyataan Parto ternyata menimbulkan tanda tanya besar di antara undangan yang hadir pada akad nikah Parto dengan Surtini.
”Lidah memang tak bertulang,” kata salah satu undangan yang duduk di paling pojok.
”Ah, ini janji buaya.”
”Aku tak yakin Parto bisa melaksanakan janjinya. Paling, hanya ingin mendapatkan cinta Surtini. Lain itu tidak!”
”Iya, betul. Janji itu pasti hanya sebagai penghias bibirnya.”
Mereka berbisik-bisik. Sekitar dua ratus undangan hadir. Semua mata tertuju pada mempelai berdua. Terlebih lagi, ketika Parto meyampaikan janjinya akan insyaf melakukan kejahatan. Tetapi kali ini, Surtini selalu menemukan bercak darah pada bagian pakaiannya.  
Beberapa kali Surtini berusaha minta cerai. Namun, suara anaknya, Anton,  yang masih berumur sembilan tahun mengurungkan niatnya. Apalagi ketika mendengar rengekan Fatimah, yang baru kelas satu sekolah dasar. Ia tak rela menyuguhkan keretakan rumah tangga kepada kedua anaknya.
”Bu, Ibu, kenapa Ibu selalu ribut dengan ayah? Ada apa, Bu?” tanya Anton, suatu ketika.
”Kapan Ibu ribut sama ayah, Nak? Paling-paling ibu dengan ayah hanya membicarakan uang saku kalian berdua. Makanya, rajin-rajin sekolah dan belajar, ya, biar kalian nanti jadi anak pintar,” Surtini berusaha menenangkan hati mereka.
”Iya betul. Fatimah juga sering dengar Ibu ribut sama ayah. Seperti beberapa hari yang lalu, soal cucian aja ribut?” Fatimah ikut menyambung.
Surtini hanya tersenyum. Senyum yang pahit ia rasakan. Namun ia berharap, senyum ini akan mengalirkan madu kepada mereka berdua, sehingga mereka tidak merasakan apa yang sedang dialami oleh Surtini dan suaminya.
Sebagaimana hari-hari biasanya, Surtini berbelanja ke pasar sekitar pukul 06.00. Bulu romanya merinding ketika kedua daun telinganya menangkap percakapan ibu-ibu yang menjurus pada pembunuhan. Peristiwa ini nyaris sama dengan pembunuhan yang terjadi sebulan yang lalu. Hanya saja, motif yang berkembang kali ini, korban diduga dukun santet. Surtini hanya menarik nafas panjang, sambil terus menguping omongan ibu-ibu yang juga berbelanja di pasar itu.
Surtini buru-buru pulang ke rumahnya. Ia ingin mengecek pakaian suaminya yang dipakai bepergian semalam. Surtini terperanjat ketika melihat darah segar menempel pada bagian baju suaminya yang sudah diletakkan di bak cucian. Buru-buru Surtini membilasnya dengan sabun cuci agar darah itu cepat hilang. Jika ada tetangga yang datang, pasti jejak darah ini tak akan tercium dan tak akan mengundang kecurigaan.
Surtini merasa lega setelah berhasil membersihkan noda darah yang menempel pada bagian pakaian suaminya. Namun, kali ini ia harus berhasil menceramahi suaminya agar tidak melakukan kejahatan. Surtini memang tidak melihat langsung adegan pembunuhan itu. Namun, adanya darah menempel pada bagian pakaian Parto hingga lima kali, cukup kuat untuk dijadikan bukti nyata bahwa suaminya adalah seorang pembunuh. Surtini berharap, bercak darah kelima ini adalah merupakan bercak darah terakhir.
”Dulu Mas berjanji akan insyaf,” Surtini mengawali percakapannya dengan nada tinggi. Pandangannya lurus ke depan, dengan tatapan mata kosong.
”Iya, aku mengakui itu,” Jawab Parto dengan nada enteng.
”Lalu mengapa Mas mengingkarinya? Secara otomatis, perkawinan kita berarti batal. Sebab, janji yang Mas lontarkan merupakan syarat utama,” lanjut Surtini, masih dengan nada tinggi.
”Jangan berkata begitu, ah! Aku muak dengan perceraian! Apakah kau tak merasa kasihan pada kedua anak kita jika kelak kita bercerai?” Parto berusaha menggunakan kata ’anak’ untuk melunakkan perkataan Surtini.
Kemudian suasana hening. Tak ada suara apa-apa. Mungkin hanya suara nafas mereka berdua yang saling adu. Dan bagi Surtini, suara kedua anaknya seakan menggenangi kedua selaput gendangnya. Inilah yang membuat rasa emosinya menjadi reda. Dan itulah ’kunci’ yang dipegang Parto.
”Bukankah kau yang selalu mendesak agar kita memiliki kompor gas, mesin cuci, tv 29 inci, sepeda motor, mobil, dan rumah baru. Dari mana aku akan memperoleh uang jika tak menjadi pembunuh bayaran. Kau kan tau sendiri, sejak lima bulan yang lalu aku telah di PHK dari perusahaan. Kau tidak memahami kondisi ini!” giliran suara Parto yang meninggi. Kali ini Parto merasa menang. 
”Tetapi kan tidak harus menjadi pembunuh bayaran, Mas?” Surtini tak mau kalah.
”Mau jadi apa, hah! Mau jadi koruptor agar bisa lolos dari jerat hukum? Uang siapa yang akan diselewengkan?”
Suasana kembali menjadi sunyi. Diam-diam, Anton dan Fatimah mengintip pertengkaran kedua orang tuanya. Namun, Anton dan Fatimah tak sepenuhnya mengerti. Sebab, bahasa yang digunakan Surtini dan Parto tak mampu dijangkau oleh kamus yang dimiliki anak yang masih berstatus pelajar ini. Hanya secara garis besar, kedua anak itu mengerti bahwa sang ayah dituduh sebagai seorang penjahat. Sejak saat itulah, Anton dan Fatimah tidak mau menerima uang pemberian ayahnya. Dan sejak saat itu pula, Surtini tidak banyak menuntut. Bahkan, untuk biaya pendidikan kedua anaknya, Surtini harus memeras keringat dan memeras otak tanpa menunggu uluran tangan sang suami. Sebagaimana Anton dan Fatimah, ia siap menolak uang pemberian Parto. Dengan cara seperti inilah, Surtini berharap tak ada bercak darah lagi yang menempel pada pakaian Parto.
Setiap pagi buta, Surtini memetik bayam, kangkung, mentimun, dan buah-buahan di kebun miliknya. Ia secara rutin menjual sayur-mayur itu ke pasar. Hasilnya cukup untuk dimakan dan untuk biaya pendidikan kedua anaknya. Apalagi, uang saku anaknya tidak terlalu banyak. Anton dan Fatimah mengerti bahwa mereka tak makan dari uang pemberian ayahnya.
Hampir separuh perjalanan menuju kebun miliknya, Surtini melihat ada kerumunan orang. Dalam hatinya berbisik, pasti ada pembunuhan. Betul. Sebuah mayat terpotong-potong mati mengenaskan di atas pematang sawah. Tubuhnya penuh darah dan lumpur. Mayat itu dalam keadaan telanjang bulat. Ingin rasanya Surtini cepat-cepat pulang dan memeriksa baju yang dipakai suaminya semalam. Apakah terdapat bercak darah, ataukah sang suami telah insyaf melakukan kejahatan. Surtini baru ingat bahwa Parto hingga pagi ini belum pulang ke rumah. Tiba-tiba, Surtini mencium bau darah yang sangat dekat dengan hatinya, ketika melihat sebuah baju tergeletak tidak jauh dari potongan mayat. Baju yang sobek dan dipenuhi bercak darah itu adalah baju Parto yang dipakai semalam. Kemudian Surtini memindahkan penglihatannya pada potongan-potongan mayat seraya histeris :
”Mas Partooo...!” 
Mata-mata yang semula terfokus pada potongan mayat dan baju yang penuh dengan bercak darah, kini tertuju pada tubuh Surtini. Surtini berlari menuju tubuh kaku suaminya. Dan inilah darah terakhir yang menempel di baju Parto. 

*Tulisan ini dimuat di Harian Jurnal Nasional, 20 Juni 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi