Duka Malam Tahun Baru
Malam masih menyisakan gerimis setelah hujan mengguyur bumi sore tadi. Mendung masih menutupi wajah langit,
sebagaimana mendung yang menggantung di langit bola mata perempuan bernama
Anita. Kedua bola mata Anita juga menurunkan gerimis. Ia tak tahu mengapa hal
itu terjadi. Seharusnya, malam ini ia bisa menyaksikan tebaran kembang api di
alun-alun kota bersama sang suami. Namun, apa boleh buat, kemarin lusa sang
suami harus berurusan dengan polisi.
“Maafkan aku, sayang! Malam ini aku tak bisa menemanimu bertahun baru di
alun-alun kota.” Anita membayangkan suaminya mengeluarkan kata-kata itu. Sambil
menatap baju-baju suaminya yang menggantung, Anita terus merangkai dialog. Ya,
dialog satu arah.
“Janganlah kau kecewa, sayang! Rayakanlah malam tahun baru dengan anak-anak
dan orang-orang yang juga ikut menyaksikan tebaran kembang api sambil meniup
terompet. Jangan pedulikan aku! Ayo, berangkatlah! Jangan mengurung
diri di kamar. Jangan bersedih hati!”
Anita terus merangkai kata-kata sambil membayangkan wajah suaminya. Anita
juga ingin menjawab kata-kata suaminya yang hadir hanya dalam bayangan. Tapi
Anita masih menyadari bahwa hal itu merupakan sebuah keniscayaan.
Sudah beberapa tahun terakhir, Prayoko, suami Anita menjadi pengedar
narkoba. Hal tersebut sebenarnya bukan kemauan Prayoko, bukan pula karena
bujukan Anita agar suaminya mau menjadi agen barang haram itu. Tapi, hal
tersebut Prayoko lakukan karena ada desakan ekonomi agar mereka mampu bertahan
hidup di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota metropolitan.
“Nduk, kamu bisa meneruskan kerja Bapak di sini. Selama ini, Bapak merasa
cukup walaupun hanya dengan berjualan kecil-kecilan,” bagitu kata ayah Anita
tiga tahun yang lalu. Sejak itulah, Anita dan suaminya menjadi penghuni trotoar
di sebelah gang sambil menunggui dagangannya.
Dari jualan kecil-kecilan itu, kebutuhan hidup mereka bisa terpenuhi. Bisa
membelikan buku anak-anak, membayar SPP, atau bahkan ada sisa untuk ditabung.
Maklum, tempat itu sangat strategis. Pembeli yang paling ramai biasanya para
mahasiswa; beli bensin eceran, rokok eceran, roti, atau minuman mineral dalam
kaleng kecil. Namun, beberapa tahun kemudian, mereka harus menutup warung
warisan sang ayah itu. Ada istilah ‘pembersihan’ yang dilakukan pihak petugas.
Prayoko sempat cekcok dengan pihak petugas. Sebagai rakyat kecil, Prayoko
memang tidak berhak mempertahankan pekerjaannya itu. Nasib baik tak lagi
berpihak kepadanya. Anita dan suaminya harus rela menutup warung; tempat
menggantungkan kehidupan mereka, juga kehidupan anak-anak.
Sebenarnya Anita ingin mengadukan nasibnya kepada sang ayah. Tapi sang ayah
sudah tiada dua bulan yang lalu. Ia menghadap Ilahi setelah mengalami strock.
Anita tidak sempat membawanya ke rumah sakit, sebab ayahnya sakit mendadak dan
langsung meninggal. Sedangkan ibunya, Suminah, sudah meninggal sejak
Anita baru menikah dengan Prayoko. Dari kedua orang tua itu, Anita hanya
memperoleh warisan rumah gedek di pinggir kali dan warung kaki lima.
Malam semakin menelusuri waktu. Jalan-jalan semakin ramai oleh konvoi manusia
yang ingin menikmati suasana tahun baru. Bunyi terompet saling bersahutan.
Sesekali terdenger letusan mercon. Bagi Anita, suasana semacam itu hanya
menambah duka di hati.
Sebenarnya Anita dan suaminya berharap agar mereka memperoleh lapangan
pekerjaan dari pihak aparat sebagai langkah alternatif. Tapi mereka menyadari.
Ijazah mana yang akan dijadikan jaminan bahwa mereka mempunyai keahlian di
suatu bidang. Anita hanya mengenal bangku SMP, sedangkan Prayoko masih untung
bisa menamatkan hingga memperoleh ijazah Sekolah Menengah Tingkat Pertama.
Tapi, ijazah mereka tak pernah laku untuk dijadikan modal memperoleh sebuah
pekerjaan.
Berhubung tidak ada kejelasan dari pihak aparat, Prayoko melakukan bisnis
narkoba. Ia tertarik jadi
‘agen’ bukan kemauan hati nuraninya, tapi karena tuntutan ekonomi. Uang
tabungannya hampir habis.
“Ini pekerjaan yang sangat berisiko. Kamu harus mengedarkannya secara
rahasia. Kalau tidak, kamu akan dimasukkan ke penjara, bahkan nyawa
taruhannya,” jelas teman Prayoko ketika mengajari Prayoko bagaimana cara
berbisnis yang baik.
Semua saran temannya itu diikuti oleh Prayoko. Sampai beberapa tahun,
Prayoko masih dalam keadaan aman. Kebutuhan isteri dan anak-anaknya bisa
terpenuhi, bahkan penghasilannya melebihi ketika ia berjualan di warung kaki
lima.
“Ayah di mana, Ma?” tanya Andi, anak bungsu
yang masih kelas tiga es-de. “Katanya mau ke alu-alun. Itu tu, Ma, nglihat bintang-bintang yang
terbang ke atas. Asyik dong, Ma!” Andi sambil menggerak-gerakkan tangannya,
seakan-akan ia sedang memegang kembang api.
“Ma, mama, kenapa mama menangis?” Ani menyambung. “Ayo dong, Ma. Kita ke
alun-alun,” lanjutnya.
Air mata Anita tak lagi bergerimis, tapi mendung di bola matanya itu telah
menjadi hujan. Sebenarnya, duka yang bersemayam di benaknya tidak boleh
diketahui anak-anaknya. Mereka terlalu dini untuk ikut merasakan duka yang
cukup berat. Untung saja Anita masih bisa menyimpan rahasia tentang ayah mereka
yang meringkuk di dalam penjara.
Andi dan Ani terus menanyakan sang ayah dan mengajaknya pergi ke alun-alun
kota. Anita tak menemukan jawaban yang paling ampuh untuk disampaikan kepada
anak-anaknya. Dalam dadanya tersimpan duka yang begitu menyiksa.
“Mas, malam ini aku ingin menikmati awal tahun baru di kamar ini. Aku ingin
berdialog dengan bayang-bayang Mas. Ini adalah musibah yang menimpa kita. Yang
aku khawatirkan, Mas akan terjerat hukum eksekusi mati, sebagaimana dialami
Ayodya, seorang pengedar narkoba dari India.”
Jarum jam menunjukkan pukul kosong-kosong. Tebaran kembang api mulai terlihat di atas
alun-alun kota. Anita hanya bisa menyaksikannya melalui celah-celah kamarnya
sambil meratapi nasib duka yang menimpa keluarganya. Ditatapnya wajah polos
anak-anaknya yang sudah terlelap, batin Anita berbisik,”Seperti inilah hidup,
Nak. Mudah-mudahan kalian tidak mengalami nasib sebagaimana yang menimpa Ibu
dan ayah kalian saat ini.” Jember, 08 November 2004
*Tulisan ini dimuat di Harian Surabaya Post, Minggu, 08
Januari 2006.
Komentar
Posting Komentar