Pahitnya Secangkir Kopi



Suminah menuangkan air panas ke dalam cangkir  yang sudah berisi bubuk kopi dan gula. Pagi ini ia ingin menyuguhkan secangkir kopi kesukaan suaminya. Hari ini ia tidak boleh gagal dan harus bisa merebut hati suaminya untuk bisa menikmati kopi buatannya, walaupun hanya seteguk atau setetes. Sudah beberapa hari terakhir suaminya tidak mau menikmati secangkir kopi yang ia suguhkan. Suminah sendiri tidak tahu, kenapa. Apakah suguhan kopinya itu kurang manis, kurang nikmat, atau kurang …. Atau memang ada perempuan lain yang telah membuatkan kopi yang lebih manis dan lebih nikmat daripada buatan isterinya sendiri.
“Mas, kopi ini nikmaaatt... sekali! Kopi ini akan membuat Mas lebih segar lagi di kantor. Kopi ini tidak akan membuat Mas ngantuk sampai Mas menyelesaikan kerja hari ini.” Suminah merayu suaminya, Paijo, agar ia mau menikmati secangkir kopi yang  ia buat. Paijo tidak memperhatikan rayuan maut Suminah. Paijo sibuk merapikan pakaiannya sambil menyemprotkan parfum pada bagian baju dan celananya.
“Mas, kopi ini tidak sama dengan kopi yang kemarin atau yang lusa,” Suminah meletakkan secangkir kopi tersebut di atas meja. “Mungkin masih terlalu panas untuk diminum, Mas,” lanjutnya.
Suminah kembali melangkah ke dapur dan mempersiapkan makanan untuk anak-anak. Hari ini ia yakin bisa menaklukkan hati suaminya. Hari ini ia yakin bisa menyuguhkan kopi ternikmat untuk seseorang yang paling ia cinta dan sayangi. Hari ini ia yakin bisa menahan langkah suaminya berangkat lebih pagi. Sebab selama beberapa hari kemarin, Paijo berangkat ke kantor sebelum jam enam. Tidak seperti biasanya dan tidak seperti yang dulu. Hanya rasa cemburu yang suminah rasakan ketika secangkir kopi buatannya tetap utuh.
“Mas, kopinya diminum dulu!” teriak Suminah dari dapur.
“Iya, nanti saja sepulang dari kantor,” jawab suaminya.
Suminah sedikit kaget. Ia gagal menyuguhkan kopi hangat untuk suaminya di pagi ini. Padahal, sesuatu  yang  paling membuatnya senang ialah ketika sang suami mau menikmati secangkir kopi hangat. Tapi tidak apa-apa. Masih ada hari esok dan lusa. Masih ada harapan dan rayuan yang lebih maut untuk menaklukkan hati suaminya.
Seorang ibu penjual sayur menggelar dagangannya di trotoar depan rumah Suminah. Ibu-ibu berkerumun memilih sayur yang paling disukainya. Nada-nada guyon dan tawa menghiasi suasana pagi. Sesekali seorang ibu juga nyeletuk ngomong tentang tetangga yang selingkuh dengan seorang dara cantik. Ada juga yang membicarakan  tetangganya yang kerja di luar negeri dan dapat isteri baru di sana. Pokoknya lengkap. Setiap pagi seakan tanpa henti. Bahan pembicaraanpun semakin berkembang.
“Mas Jalal punya wanita simpanan lho, di kantornya.”
“Kang Barong juga sering main mata dengan tetangga sebelah. Kabarnya, mereka pernah nginep di Hotel Kartika. Isterinya ngamuk-ngamuk dan minta cerai.”
“Kejadian seperti itu juga sering disiarkan di tv-tv. Mungkin mereka tahu dari tv, ya?”
Percakapan-percakapan seperti itu hampir setiap hari mewarnai trotoar depan rumah Suminah. Mereka bisa mengetahui gosip tentang suami masing-masing; mulai dari selingkuh, main mata, sampai gosip tentang seorang ayah yang punya empat orang anak dan ternyata punya isteri simpanan dengan empat orang anak pula.
Ketika para ibu itu pulang ke rumah, mereka khawatir suaminya kecantol perempuan lain. Ketika sang suami pulang kerja, mereka menyelidikinya, mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Terlebih lagi bekas lipstik di bibir dan di pipinya.
Malam terasa sangat dingin. Suminah menatap wajah suaminya yang tidur pulas di ranjang. Sudah lama Suminah tidak merasakan hangatnya dekapan sang suami. Kadang Suminah merasakan bahwa laki-laki yang tidur di dekatnya itu bukan Paijo, bukan pula siapa-siapa. Ketika Suminah menyentuh kulit sang suami, seakan ia menyentuh mayat; dingin dan kaku.
Suminah teringat pembicaraan ibu-ibu ketika belanja di trotoar di depan rumahnya. Suminah semakin khawatir sejak hampir setiap hari perselingkuhan terjadi di setiap sudut negeri ini. Mulai dari pejabat yang tidak puas dengan pelayanan isteri di rumah sampai pejabat yang kelebihan uang.
Bagi Suminah, melewati waktu menuju pagi terasa sangat lamban. Suminah ingin cepat-cepat membuatkan kopi untuk suaminya. Suminah juga ingin merangkai kata-kata dan memikat hati suaminya dengan umpan segelas kopi. Tapi Suminah yakin hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Sudah beberapa kali Suminah gagal.
Waktu sudah melewati tengah malam. Suminah masih belum bisa memejamkan mata. Setelah berwudhu, air matanya  tidak dapat dibendung. Sajadah tua maskawin dari suaminya itu basah. Hanya Suminah dan Tuhan yang tahu kejadian malam itu. Sedangkan suaminya? Mungkin ia terlalu nyenyak tidur dengan mimpi yang indah. Sehingga, perjalanan malam yang dingin itu terasa begitu cepat menemui pagi.
“Mas…, masih pukul enam. Aku telah membuatkan kopi untuk Mas. Sebab aku tahu Mas pasti telah penasaran aroma dan rasa kopi yang aku buat. Jika Mas mau menikmati seteguk saja, pasti nanti Mas ingin cepat pulang dari kantor. Rasa kopi pagi ini, beda dengan rasa yang kemarin atau yang lusa. Tapi aku tidak akan memaksa Mas untuk menikmatinya.”
Paijo tidak menanggapi. Ia sibuk  merapikan pakaiannya sambil sesekali menyemprotkan parfum yang ia beli kemarin. Suminah teringat kaum perempuan yang sering mengadakan demonstrasi di gedung-gedung DPR dan di jalan-jalan raya beberapa bulan kemarin. Suminah baru merasakan  dirinya dikhianati. Suminah baru merasakan harga dirinya sebagai isteri dan harkat keperempuanannya telah diinjak-injak. Tapi apa yang bisa Suminah lakukan kecuali menangis dan mengadu kepada Tuhan setiap malam. Suminah hanyalah seorang perempuan yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa.
Sebagaimana hari-hari kemarin, Paijo tetap tidak mau menikmati secangkir kopi itu. Bahkan akhir-akhir ini, Paijo sering terlambat pulang ke rumah. Tapi sebagai seorang isteri, Suminah masih ingin setia dan selalu membuatkan kopi untuk suaminya.
Suatu siang, Suminah masih menunggu suaminya pulang dari kantor. Ia menatap secangkir kopi yang masih utuh. Ia berfikir, masihkah suaminya akan pulang ke rumah?  Atau pulang ke rumah perempuan simpanannya.
Sang suami belum juga pulang. Suminah menatap secangkir kopi itu lagi. Kemudian ia mengangkatnya dan hendak meminumnya. Bibir Suminah menyentuh bibir cangkir itu. Ada rasa pahit melewati kerongkongannya. Sepahit kehidupan yang ia rasakan. Jember, 18 Maret 2004

*Tulisan ini dimuat di Harian SURYA, Minggu, 14 Agustus 2005. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi