Lezzet
Langit masih meneteskan embun ketika
perempuan itu mengusap wajah dengan kedua tangannya selepas berdoa. Ada semacam sinar putih terselip dari
kedalaman jiwanya. Bagiku, aura perempuan semacam itu menimbulkan hasrat dan
gairah untuk memilikinya. Getaran-getaran magnetis selalu mendorongku memencet
tuts HP. Menghubungi. Lalu menanyakan tentang kabarnya hari ini.
Selalu saja ia menjawabnya dengan nada datar. Tanpa ada basa-basi. Apalagi
harus memperpanjang dialog, atau bahkan sekedar ngobrol lebih jauh lagi.
Mungkin saja ia telah memiliki lelaki idaman sesuai keinginannya atau keinginan
orang tuanya, pikirku.
Bagiku, sekedar menjawab ‘baik’ atau ‘kurang enak badan’ melalui ponselnya
ketika kuhubungi sudah merupakan obat rindu. Setidaknya sampai sore hari.
Sedangkan malam harinya, pasti rasa rindu itu kembali akan menggenangi setiap
sudut hatiku. Aku laksana Umru’ul Qais yang selalu merindukan Laila. Tanpa
harus berprasangka buruk, senantiasa kuyakini bahwa rindu semacam itu merupakan
anugerah Ilahi yang tak dimiliki oleh setiap orang.
“Maaf, aku masih ada kuliah hari ini,” ujarnya, ketika kuhubungi.
“Hari ini kan hari Minggu?” tanyaku.
“Kuliahku hari Sabtu dan Minggu.”
“Kuliah jam berapa?”
“Sekarang, jam sembilan.”
“Sudah sarapan?”
“Alaaahhh…kalaupun belum sarapan, kau tak mengajakku makan pagi.”
“Kalau memang mau, monggo. Di restoran apa atau di tempat makan
mana?”
“Sudahlah, aku ada kuliah.”
Perempuan itu bernama Lezzet. Sebuah nama yang sangat unik. Bukan nama
asli memang, tapi ia lebih suka dengan panggilan Lezzet.
Ia seorang perempuan pengagum Rendra. Puisi-puisi Rendra nyaris menjadi
bagian dari dirinya. Mengoleksinya, menghafal, menganalisis, bahkan
menempelkannya di tembok-tembok kamarnya.
Ketika kutanyakan mengapa ia mengagumi Rendra, ia menjawab demikian.
“Aku ingin termashur seperti Rendra,” ujarnya sambil memperbaiki kerudung
putihnya.
“Mengapa kau tidak ingin masyhur seperti Cak Nun atau yang lainnya saja,”
tanyaku, menyelidiki.
“Aku juga pengagum Cak Nun,” lanjutnya.
Aku baru menyadari bahwa skripsi es satunya menganalisis puisi-puisi Cak
Nun. Sebenarnya aku juga ingin menanyakan latar belakang rasa kagum yang ia
lontarkan barusan. Kuurungkan saja. Sebab, pasti tak kutemukan jawaban yang
memuaskan. Paling hanya ada beberapa kata dalam satu kalimat dan hanya
menyisakan rasa kecewa di hatiku.
Cinta bisa menumbuhkan semangat dan gairah kerja. Cinta juga bisa
menjadikan buta terhadap penganutnya. Iman seorang pemilik cinta akan menuntun
dan akan mengarahkan ke mana kaki akan melangkah.
Sebagai seorang lelaki yang hidup di tengah keluarga dan lingkungan yang
agamis, aku lebih menitikberatkan cinta yang kumiliki harus merujuk pada
undang-undang Ilahi. Bukan untuk melecehkan cinta itu sendiri. Bukan pula untuk
mengingkari anugerah cinta yang Tuhan berikan.
Seringkali kedua
belah bibirku melukis kata doa pada Ilahi. Kanvas malam yang gelap selalu
terlukis doa suci, walaupun sampai sekarang tak ada status resmi bagaimana
posisi doaku itu. Aku sering mendengar dari keterangan Ustadz, Tuhan menyukai
hamba yang selalu berdoa, walaupun doa tersebut belum terkabulkan.
Hanya ada satu keyakinan yang sampai sekarang tak pernah pupus dari lubuk
hatiku. Ketika doaku belum terkabulkan, minimal aku menjadi kekasih Tuhan.
Suatu ketika, aku menerima sms dari Lezzet. Bunyinya seperti ini.
Friends are like
stars-not always seen but they’re always there & care.
Pemahamanku terhadap
bahasa Inggris sangat jelek. Aku butuh orang lain menerjemahkannya.
Setelah kutahu maksud sms tersebut, hatiku merasa sangat senang. Tapi rasa
senang itu bertahan hanya beberapa saat. Sebab, aku tak pernah merasakan
perhatian yang ia berikan kepadaku. Akhirnya, hanya rasa kecewa yang kurasakan.
Sutau ketika, Lezzet bersama kawannya menampilkan sebuah pementasan teater
di gedung Palang Merah. Sebuah kesempatan bagiku untuk memperhatikan kecantikan
dan keanggunannya. Sungguh luar biasa. Aku memang tidak tahu kecantikan
bidadari syurga. Tapi mungkin aku tidak salah bila menyamakan kecantikannya
laksana seorang bidadari.
Aku terus memperhatikannya sampai pementasan itu berakhir. Bersamaan dengan
berakhirnya pementasan itu, timbul nada kecewa. Lagi-lagi rasa kecewa. Tak ada
kesempatan lagi melakukan hal yang sama; memperhatikan kecantikan dan
keanggunannya berlama-lama. Aku hanya bisa menghubunginya lewat
ponsel dengan tanggapan yang sangat tawar dan datar. Lalu aku merasa kecewa
lagi. Bahkan sakit hati.
Di malam yang sunyi aku pernah berdoa. Ya Tuhan, jika engkau
menganugerahkan kurnia cinta ini kepadaku, mengapa engkau tak menganugerahkan
juga seorang Lezzet kepadaku. Aku hanya ingin tahu maksud dan
tujuan-Mu terhadap semua ini. Sebab engkaulah sutradara kehidupan manusia dan alam.
Lezzet mengambil akta IV. Kuliahnya hari Sabtu dan Minggu. Tapi aku
tak yakin ia mau jadi seorang guru. Konon, ia masih ingin melanjutkan kuliahnya
di ISI Yogyakarta. Bakat seninya begitu bergejolak. Hingga setiap langkah
kehidupannya seringkali menimbulkan sebuah keindahan yang tidak dimiliki
perempuan pada umumnya.
“Tipe lelaki yang kau sukai seperti apa?” Aku memancingnya.
“Lelaki yang berakhlakul
karimah dan penuh perhatian,” jawabnya, singkat.
“Seperti siapa?” tanyaku, lebih jauh.
“Seperti siapa saja yang berakhlakul karimah dan penuh perhatian,” jawabnya
lagi.
Aku hanya menarik nafas panjang. Tak pernah kutemukan jawaban yang
memuaskan. Setiap jawaban yang ia berikan, selalu menyisakan tanda
tanya dan kekecewaan.
Tanpa harus memungkiri sesuatu yang kumiliki, aku bukanlah lelaki yang
berperangai dan berperilaku buruk. Memang tak ada orang yang mau mengekspos
kebaikankan. Aku juga lelaki yang penuh perhatian. Tapi Lezzet tidak pernah
tahu hal itu. Sangat disayangkan.
Hari
terus berganti. Minggupun berubah menjadi bulan. Menjadi tahun. Tapi tak
kutemukan anugerah cinta di dalam dadanya, sebagaimana aku mencintainya. Selalu
saja kutemukan kekecewaan setiap kali aku menghubunginya. Tapi biarlah, mungkin
Ilahi robbi, sebagai sutradara kehidupan berkehendak lain. Dan aku selalu berusaha sabar
atas segala kehendak-Nya. Amin! Jember, 22 Februari 2005
*Tulisan ini dimuat di Harian SURYA, Minggu, 10 April
2005.
Komentar
Posting Komentar