Taman Bunga yang Berduka


Pagi ini aku masih menatap sekuntum mawar merah di sebuah taman dekat alun-alun kota. Pagi ini aku juga masih mencoba mengingat kembali kenangan bersamamu dulu, mengitari taman bunga, memetiknya, kemudian saling mengejar. Dua ekor kupu-kupu pun ikut berkejaran seakan menyindir tingkah laku kita di saat merajut benang asmara. Tapi itu dulu. Sebelum aku memberikan cincin tanda pertunangan pada jari manismu. Sebelum kita berikrar setia sehidup-semati di depan pak penghulu.
Entah mengapa. Pagi ini tiba-tiba aku ingin bertemu denganmu di taman ini. Sebuah taman yang banyak menyimpan cerita dan suka tentang kita. Sebuah taman yang telah banyak menumbuhkan benih-benih cinta di antara kita. Sebuah taman yang mungkin juga merasakan duka ketika ia melihat kita duduk berdua di bangku ini, sedangkan hati kita tidak lagi menyatu.
            “Berdosakah aku jika aku masih mengawali perkataanku dengan kata ‘sayang’?” tanyaku.
            “Bukan masalah dosa atau tidak. Tapi aku sudah jadi milik orang lain secara syah di depan pak penghulu,” jawabnya tanpa melihat ke arahku.
            “Aku tahu kamu bukan milikku lagi. Aku menyesal karena kamu telah memilih cara yang salah memperlakukan aku sebagai seorang suami.”
            “Apa maksudmu?”
            “Kau seorang manusia yang masih punya perasaan. Aku pun juga sama.  Setiap orang tentu tidak pernah mengharapkan perasaannya terlukai. Aku….”
            “Cukup! Aku tidak mau berbicara tentang perasaan. Di antara kita tidak ada hubungan apa-apa.”
            “Kita memang tidak punya hubungan apa-apa lagi. Kita tidak punya hubungan cinta. Kita juga tidak punya hubungan kasih dan sayang. Tapi ada satu permintaan….”
            “Permintaan apa! Kita sudah cerai secara resmi!”
            “Kumohon kamu mau mendengarkan permintaanku kali ini. Ini untuk kelanggengan kamu dan suamimu.”
            “Cepat!”
            “Oke, oke! Suamimu adalah bagian dari dirimu juga. Hati-hatilah menjalani dan membina hubungan rumah tangga. Satu hal yang paling aku benci, yaitu ketika seorang isteri suka melukai perasaan suaminya. Bukankah Tuhan menyediakan tempat di neraka bagi isteri yang ngelamak terhadap suaminya?”
            Zidah menundukkan pandangannya. Aku tahu ia sedang menahan air matanya agar tidak jatuh menyentuh bumi. Kedua kakinya bergerak ke kanan dan ke kiri. Seperti itulah gerak reflek yang aku ketahui ketika Zidah menahan air mata yang berusaha mengairi lesung pipinya itu.
            “Maafkan aku jika aku telah mengajakmu bertemu di taman ini. Mungkin aku telah membuat sakit perasaanmu. Tapi ada maksud lain yang ingin kuharap darimu. Taatlah pada suamimu bagaimanapun keadaannya.”
            Aku menghentikan kata-kataku. Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba aku pandai mengeluarkan kata-kata berhikmah seperti itu. Seakan-akan aku sedang dituntun seorang agamawan yang alim dan pandai berkhotbah. Hal itu aku lakukan bukan karena aku mengharap Zidah kembali ke pangkuanku untuk memadu cinta dan kasih-sayang lagi. Aku ingin hubungan keluarga mereka langgeng sampai akhir hayat.
            “Pulanglah! Hari sudah menjelang siang. Mungkin  kamu ingin mempersiapkan makan siang untuk suamimu. Tapi ingat, kamu tidak usah mencaritakan pertemuan kita pada suamimu. Aku tidak ingin maksud baikku ini akan jadi bumerang bagi kehidupan keluargamu.”
            Zidah melangkah pergi menuju motornya yang diparkir sejak tadi. Langkahnya begitu lambat. Pandangannya menyisiri setiap jengkal tanah yang akan ia lewati. Padahal, taman itu masih menyimpan aneka bunga dan kupu-kupu untuk dinikmati.
            Zidah adalah mantan isteriku. Hatiku merasa terpikat ketika kami mengadakan penelitian di Bali sebelum aku menyandang gelar sarjana. Zidah adalah salah satu anggota timku. Pada tanggal 24 Juni 2002, aku beserta timku mendapat proyek dari fakultas untuk mengadakan penelitian. Kami tinggal di Bali selama dua bulan dan mengunjungi beberapa lokasi penelitian. Pada saat-saat tertentu, kami refresing di Pantai Kuta, Tanah Lot, atau Danau Bedugul. Suatu saat, aku dan Zidah menikmati indahnya tebing dan pura di Danau Bedugul. Keindahan yang aku nikmati seakan memancar dari wajah Zidah. Keindahan dan kenikmatan itu semakin bersemi ketika Zidah mengajakku mengitari danau itu dengan mengendarai Speed Bood yang sengaja kami sewa. Aku baru percaya bahwa Bali betul-betul indah. Dan setelah gelar kesarjanaan kuraih, aku meminang lalu menikah dengannya. Hingga aku dan Zidah resmi jadi sepasang suami-isteri. Tapi bahtera rumah tangga itu tak mampu bertahan lama. Setelah delapan bulan menikah, Zidah selingkuh dengan seorang manager sebuah perusahaan yang tak lain juga masih teman satu kampus denganku. Aku hanya mampu mengusap dada dan berusaha sabar. Aku pun memaklumi. Zidah terlihat kecewa ketika ia tahu keadaannku yang sebenarnya. Aku bisa menuntaskan belajarku di bangku kuliah bukan karena orang tuaku mampu membiayaiku. Aku bisa bertahan hidup karena aku sering mengisi artikel dan cerpen di koran-koran atau mengadakan penelitian dengan biaya dari lembaga-lembaga penelitian.  Kedua orang tuaku adalah buruh tani. Aku melanjutkan studiku di bangku kuliah dengan bondo nekat.
            “Baik! Aku akan memenuhi permintaanmu itu,” kataku, ketika Zidah minta cerai.
            “Mas jangan berprasangka yang tidak-tidak, ya? Aku hanya merasa tidak pernah memberikan yang terbaik buat Mas. Aku masih ingin sendiri untuk merenungi segela kekuranganku. Aku ingin memperbaiki diri dan belajar menjadi isteri yang solehah,” Zidah beralasan.
            Setelah perceraian itu, aku baru mengerti bahwa Zidah telah lama mengadakan hubungan dengan seorang manager sebuah perusahaan. Aku tidak bisa menggugat atau mengungkit-ungkit hal itu lagi. Sebab aku tidak punya hubungan apa-apa lagi.
********
Pagi ini aku masih menatap sekuntum mawar merah di sebuah taman dekat alun-alun kota. Zidah menundukkan pendangannya. Aku tahu ia sedang menahan air matanya agar tidak jatuh menyentuh bumi. Kedua kakinya bergerak ke kanan dan ke kiri. Seperti itulah gerak reflek yang aku ketahui ketika Zidah menahan air mata yang berusaha mengairi lesung pipitnya. Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba ia mengajakku bertemu di taman bunga; tempat aku dan dia merajut benang-benang asmara dulu.
“Mengapa kamu menangis? Apakah kamu mengundangku untuk ikut menangis?” aku memulai pembicaraan.
“Tidak! Aku hanya ingin ngasih kabar. Aku tidak bisa bertahan hidup dengan suamiku. Aku cerai lagi.”
“Beberapa bulan yang lalu aku telah menasehatimu agar kamu mau memperlakukan suamimu lebih arif lagi.”
“Sudah. Terima kasih atas nasehatnya. Aku selalu berusaha untuk mengingat dan melaksanakan nasehat itu. Tapi permasalahannya bukan itu.”
“Lalu apa?”
“Kami selingkuh?”
“Aku sudah tahu itu semua setelah satu bulan kita cerai. Tapi aku telah memaafkanmu.”
“Ternyata suamiku itu juga telah punya pasangan. Aku adalah isteri simpanannya. Aku berusaha bertahan hidup walaupun mempunyai nasib seperti itu. Tapi aku tidak kuat. Aku dihina dan dicaci setelah isteri tuanya mengetahui hubunganku dengan Masku.”
Zidah masih menundukkan kepalanya. Gerakan kedua kakinya semakin tidak bisa membendung buncahan air matanya. Suasana taman di pagi itu betul-betul berduka. Bunga-bunga yang indah tak mampu menyentuh relung hati Zidah. Dua ekor kupu-kupu pun hanya diam membisu di kelopak bunga.
Aku sengaja tidak mengawali percakapanku denganmu dengan kata ‘sayang’. Aku tidak mau rujuk lagi. Bersikaplah lebih arif dan bijaksana. Kamu sedang berhadapan dengan karma! Jember, 26 Maret 2004

*Tulisan ini dimuat di Harian SURYA, Minggu, 26 September 2004

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bilangan Fu; Semangkuk Bakso dengan Sedikit Kuah

Makna Toleransi ala Imam Syafi’i

Alyssa dan Persoalan Hidup yang Bertubi